Please ENJOY

Selasa, 09 November 2010

Potret Suram Kota Kembang

Melangkahkan kaki menembus dinginnya pagi di sekitar kawasan Dago–Bandung sangatlah nyaman, apalagi hari minggu, dimana dikawasan tsb adalah kawasan “car free day” warga yang berdomisili dikawasan Dago bahkan yang datang jauh dari kawasan Dago pun tumplek berbaur menjadi satu, mereka datang ada yang memang sengaja untuk jogging, bicycling, atau malah ada yang hanya sekedar sight seeing.

Daerah Dago yang menjadi Ikon Bandung  (selain Jalan Braga) dari dulu memang mempunyai magnet tersendiri, bukan hanya bagi warganya tapi juga buat pendatang dari luar kota, seperti Jakarta, Tanggerang, Bogor dan Bekasi, mereka biasanya dengan sengaja menghabiskan waktu libur mereka terutama pada saat week end, banyak sekali perubahan yang telah terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, mall, cafe, factory outlet juga fasilitas-fasilitas yang dapat memanjakan kaum borjuis berdiri disana-sini, pembangunan yang menandakan sebuah kemajuan dalam sebuah kota sekaligus menggilas kaum yang termarginal.


Kadang kita selaku bagian kecil dari masyarakat yang hidup di Kota Bandung, merasa bangga akan pembangunan yang telah dilakukan selama ini, kita merasa bahwa kota kita adalah kota yang tidak kalah dengan kota-kota besar lainnya seperti Jakarta dan Surabaya, tapi apa benar selama ini pemerintah baik pusat maupun daerah telah membangun kota tercinta ini? Ataukah apa yang dilakukan pemerintah sama sekali tidak membangun Bandung tapi “mendirikan bangunan dikota bandung”?.....

Ada konotasi/arti yang berbeda antara membangun kota Bandung dengan mendirikan bangunan di kota Bandung” 

Selama ini yang dilakukan pemerintah maupun pihak swasta bukanlah membangun kota Bandung tapi mendirikan bangunan di kota Bandung. Cobalah sejenak kita meluangkan waktu untuk melihat mall-mall yang ada di Bandung, apakah mall yang salah satu fungsi utamanya sama seperti pasar tradisonal, “tempat dimana bertemunya penjual dan pembeli dan terjadi transaksi” masihkah memegang perannya? Banyak sekali masyarakat yang datang ke mall hanya sekedar hilir mudik, mejeng, nonton pagelaran musik dan melakukan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan sebuah transaksi, itu menandakan bahwa keberadaan mall yang jumlahnya banyak itu tidaklah  disertai dengan kemampuan masyarakat untuk membeli barang-barang yang dijual di dalamnya. Begitu juga dengan kafe/resto, factory outlet dan semua fasilitas yang telah terbangun, kalaupun kita melihat kafe/resto,  factory outlet penuh oleh pengunjung, itu hanya terjadi di week end saja dan mayoritas para pengunjung yang memadatinya datang dari luar kota Bandung, lalu bagaimana dengan masyarakat lokal yang tinggal di kota Bandung? Berbelanjakah mereka?.....

Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa salah satu segi positif dari adanya mall, kafe/resto juga factory outlet dan berbagai fasilitas yang memang banyak bermunculan itu dapat menyerap tenaga kerja, dari mulai penjaga karcis parkir, cleaning service, satpam SPG/SPB sampai level manager.

Tapi selayaknya pembangunan yang dilakukan di sebuah kota atau kawasan haruslah penuh perencanaan yang matang dan terpola, coba kita bandingkan Bandung sekarang ini dengan Bandung di era 80an atau 90an, sekarang ini kawasan terbuka hijau semakin terkikis, hawa lebih pengap karena polusi udara, kemacetan disana sini, di tambah banjir yang rutin terjadi saat hujan turun.

Berjamurnya bangunan-bangunan yang didirikan bukan hanya fasilitas yang sifatnya untuk kesenangan, tapi juga fasilitas yang berhubungan dengan pendidikan, sekolah-sekolas swasta maupun PTS berdiri disana-sini, semuanya menawarkan fasilitas yang dianggap menjadi sebuah keunggulan, lalu timbul lagi pertanyaan, apakah kwantitas sarana pendidikan sebanding dengan kwalitasnya? Apakah sarana pendidikan tsb dapat mengakomodir salah satu satu cita-cita kemerdekaan ini yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD, benarkah bahwa sekolah atau pendidikan itu gratis seperti yang dikoarkan para calon pemimpin negara ini saat mereka berkampanye?

Pertanyaan mengenai pendidikan itu muncul sesaat setelah pandangan mata saya tertuju pada sosok tubuh kecil, usia tidak lebih dari 12 tahun, dengan langkah yang gontai hilir mudik mendatangi setiap mobil yang berhenti di persimpangan atau mobil-mobil yang berjalan antri di tengah kemacetan, tubuh munggil dengan tanggungan/pikulan di bahunya, tubuh munggil yang sepertinya sudah terbiasa memikul cobek atau coet (dalam bahasa sunda), sebuah pekerjaan yang menjadi fenomena tersendiri di kota yang tercinta ini. Anak-anak penjual cobek atau coet tsb selalu berkilah bahwa mereka berjualan di sela-sela waktu luang mereka, dan mereka mengaku masih berstatus sebagai pelajar di Sekolah Dasar atau di sekolah setingkat SLTP, padahal kalau kita perhatikan, anak-anak itu mulai berjualan cobek atau coet dari pagi hingga sore, malah kadang sampai larut malam, masih adakah waktu untuk mereka bersekolah? Padahal pendidikan adalah merupakan “hak” bagi mereka. Ironisnya lagi, anak-anak penjual cobek atau coet berjualan di kawasan dago, di sekitar Jl. Martadinata, Jl. Merdeka, Jl. Juanda yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Gedung Balai Kota, dan Gedung Sate dimana para pemimpin berkantor.

Profesi seperti penjual cobek atau coet bukanlah satu-satunya fenomena yang terjadi di kota Bandung, tapi ada profesi lain yang sekarang ini tengah menjamur, diantaranya “Topeng Monyet” yang banyak sekali kita jumpai disetiap sudut atau lampu merah, juga pengamen yang bukan hanya di jalan raya tapi juga sudah melebarkan sayapnya masuk ke komplek-komplek perumahan.

Salut dengan kegigihan mereka saat berjuang mempertahankan hidup agar tetap hidup, ditengah menterengnya bangunan berkaca, hiruk pikuknya keramaian kota, congkaknya pemimpin bangsa. Sebuah profesi yang rentang tergerus oleh pesatnya perkembangan jaman, sebuah profesi yang menjadi bukti bahwa pemerintah belum mampu menentaskan semua permasalahan kehidupan kaum jelata. 

“Bukti bahwa selama ini pemerintah tidak membangun tapi hanya mendirikan bangunan

0 komentar:

Posting Komentar