Masa kecil adalah masa yang paling indah, masa dimana kita bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain, disana terselip norma-norma dalam keluarga yang nantinya akan dibawa sampai si anak dewasa kelak. pada masa itulah orang tua, guru, bahkan para rohaniawan meletakan fondasai/dasar bagi pembentukan karakter/ahlak si anak dalam menjalani hidup selanjutnya. Pengalaman masa kecil yang dilewati anak akan membekas dan menjadi sebuah “trauma” yang berkepanjangan hingga kelak si anak dewasa. Apabila pengalaman tersebut adalah pengalam yang positif maka positif pulalah karakter si anak kelak, begitu juga sebaliknya apabila pengalaman yang diterima anak semasa kecil adalah pengalaman yang negatif karakter si anak “cenderung” negatif pula.
“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” orang tua yang selalu berkata-kata tidak santun akan menstimulasi anak untuk berkatak-kata kasar, juga seorang anak yang mengalami trauma pemukulan/penyiksaan oleh orang tuanya cenderung akan melakukan hal yang sama kelak apabila anak tersebut telah dewasa dan menjadi orang tua, disinilah pentingnya keteladanan yang diperlihatkan orang tua kepada anaknya.
Ada kasus pelecehan seksual (sodomi) yang dilakukan seorang laki-laki dewasa terhadap anak-anak, setelah melakukan penelusuran secara fsikologi terhadap kasus tersebut ternyata laki-laki dewasa yang melakukan sodomi itu pernah juga mengalami hal yang sama semasa kecilnya.
Lalu mengapa semua itu bisa terjadi? itu karena anak adalah “Good Imitator”
Doktrinasi terhadap anak tanpa sadar sering kali dilakukan oleh orang tua, guru bahkan para rohaniawan, seorang anak dijejali dengan sebuah doktrin bahwa “anak tidak boleh durhaka terhadap orang tuanya” tidak ada yang salah sebenarnya dari pemahaman seperti itu apabila kita lihat dari kaca mata orang dewasa, lalu bagai mana dengan sudut pandang si anak itu sendiri? Tanpa sadar si anak akan berpikir bahwa “hanya anaklah yang tidak boleh durhaka terhadap orang tuanya”, lalu timbul pertanyaan, “bagaimana dengan orang tua yang durhaka terhadap anaknya, bolehkah”? media seperti koran dan televisi juga ikut memperparah doktrinasi tersebut, sehingga semakin yakinlah bahwa “hanya anak saja yang tidak boleh durhaka terhadap orang tuanya”
Kalau saja kita mau jujur dan menilai sesuatu denga fair/equitable sebetulnya bukan hanya anak yang tidak boleh durhaka terhadap orang tua, tapi orang tuapun tidak boleh durhaka terhadap anaknya. Seorang suami yang melakukan perselingkuhan dibelakang istri, biasanya hanya merasa bersalah terhadap istri tanpa sedikitpun merasa bersalah terhadap anaknya, seorang bapak yang melakukan kekerasan fisk ataupun verbal terhadap anaknya sering kali berdalih untuk mendidik si anak padahal tidak jarang itu terjadi karena si bapak melampiaskan kekesalannya karena berbagai masalah dalam kehidupan yang mendera, juga kekerasan orang tua bisa terjadi dalam hal ekonomi dimana orang tua gagal menunaikan tugasnya memberi kehidupan yang “layak” untuk anaknya, dalam contoh kasus-kasus seperti ini anaklah yang menjadi korban, lalu mengapa orang tua sama sekali tidak merasa berdosa/bersalah terhadap anaknya atau merasa bahwa itu hal yang biasa? Itu karena semasa orang tua itu kecil dia didoktrin bahwa anak saja yang bisa durhaka terhadap orang tuanya, sedangkan orang tua “tidak” terhadap anaknya.
Ingatlah bahwa anak bukan miniatur orang dewasa, anak adalah anak yang mempunyai kehidupan sendiri, sebuah individu yang memang beda dari orang dewasa, jadi memberikan pemahaman akan nilai-nilai budi pekerti haruslah memperhatikan kemampuan anak dalam menyerap pemahaman budi pekerti tersebut, janganlah sekali-kali memaksakan suatu pemahaman terhadap anak dengan cara-cara orang dewasa.
Tahukah bahwa juvenile deliquency biasanya dilakukan remaja yang datang dari keluarga yang broken home, dan gagalnya orang tua dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti? dalam kasus ini “durhakakah orang tua terhadap anaknya”? (sebuah pemahaman yang tidak pernah didoktrinkan orang tua, guru dan para rohaniawan).
0 komentar:
Posting Komentar