Emansipasi yang sering kali didengungkan oleh kaum hawa sesungguhnya adalah sesuatu yang memang sudah ada sejak perempuan dilahirkan, perempuan tidak perlu berjuang untuk mendapatkan kesamaan derajat karena setiap bayi perempuan yang dilahirkan sudah lengkap dengan derajat yang tinggi setinggi derajat kaum adam. Begitu juga dengan hak (human right), perempuan mempunyai hak yang sama untuk maju dan berkembang, mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan yang layak dan berkarya mengisi kisi-kisi kehidupan.
Kalau kita menoleh sejarah Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada usia 25 tahun) kesamaan derajat dan hak seorang perempuan sangatlah terbelenggu oleh sebuah adat yang diyakini benar dan lebih baik, ayah kartini Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara, pastilah seorang yang sangat menjunjung tinggi adat Jawa yang kalau dilihat dari kaca mata jaman sekarang sangat ortodok, tapi beliau (maaf) bukanlah penganut agama islam (atau agama lain) yang fanatik, pengekangan beliau terhadap Kartini menunjukan bahwa pemahaman beliau terhadap agama sangatlah minim. Salah satu fungsi agama ialah untuk menghapus adat/kebiasaan yang tidak perlu dan merugikan hidup manusia, dalam Islam (atau mungkin juga agama lain) perempuan mempunyai kedudukan yang istimewa, terhormat dan dijunjung tinggi harkat dan derajatnya.
Pengekangan (istilah halusnya pingit) yang dirasakan Kartini saat itu belum tentu dirasakan oleh perempuan-perempuan lain, kita bisa lihat sejarah Tjut Njak Dien (lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – meninggal di Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) dia sama sekali tidak mengalami pengekangan dalam hidupnya seperti yang dialami Kartini, Tjut Njak Dien bisa dengan leluasa keluar rumah dan berperang melawan penjajah Belanda, begitu juga dengan perempuan-perempuan dibelahan bumi lain, seperti Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800 – meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 18 tahun) adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berusia 17 tahun. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda. Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Dari cerita Tjut Njak Dien dan Martha Christina Tiahahu jelaslah bahwa bahwa mereka sama sekali tidak mengalami pengekangan hak dalam hidupnya.
Lalu apakah Kartini sebagai pencetus Emansipasi itu? Dan apakah benar berkat Kartinilah perempuan Indonesia mempunyai Emansipasi jawabnya “Tentu Tidak”, kalau kita membaca sejarah hidup kartini (secara lengkap) Kartini berjuang bukan untuk perempuan-perempuan Indonesia karena di belahan bumi lain di Indonesia perempuan sama sekali tidak mengalami pengekangan (seperti Tjut Njak Dien dan Martha Cristina Tiahahu), kartini hanya berjuang membebaskan dirinya dari belenggu yang dibuat ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat melalui ada istiadat setempat yang ortodok, dan membebaskan perempuan-perempuan Jawa disekitarnya yang mengalami nasib yang sama, buku terkenal mengenai Kartini berjudul “habis gelap terbitlah terang”, Sebagian besar berisi surat-surat mengenai keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Tapi walau bagaimanapun juga perjuangan Kartini untuk membebaskan diri dari belenggu adat yang sangat mengekang telah menginspirasi banyak wanita hingga layaklah bila kartini dianggap sebagai “pencetus bangkitnya kembali kesamaan hak dan derajat (emansipasi)”
Lalu bagaimana dengan perempuan yang hidup dimasa sekarang? Apakah mempunyai hak yang sama seperti laki-laki, dan apakah mempunyai derajat yang tinggi?
Perempuan tentu saja mempunyai hak yang sama dengan hak laki-laki, dan mempunyai derajat yag tinggi, tapi perlu juga diingat bahwa harga diri perempuan di mata laki-laki itu tergantung dari seberapa besar perempuan itu mampu menghargai dirinya sendiri. Sering kali kita melihat perempuan yang dengan rela hati menghalalkan segala cara demi mendapatkan materi, lalu masih layak kah perempuan tersebut untuk dihargai, masih adakah terselip sedikit saja harga diri?
Dari awal selayaknya orang tua menanamkan norma-norma yang baik kepada anak perempuannya, over protective bukanlah cara yang ampuh untuk menjaga anak perempuan dari perbuatan yang menyimpang, tetapi pemahaman mengenai seberapa pentingkah perempuan bisa menghormati dirinya sendiri jauh lebih utama, hingga saat anak perempuan itu bersosialisasi menjadi bagian dari masyarakat dia tetep bisa menjaga citra diri tanpa takut ada pihak-puhak yang merendahkannya.
Terinspirasi oleh Kartini perempuan boleh saja ikut berkarya from nothing to be something, dan tidaklah masalah bila mempunyai pegangan karir sama seperti yang biasa dilakukan laki-laki, perempuan bisa masuk ke ruang publik dan berkarir dibidang politik, entertain, pendidikan, pekerja sosial bahkan menjadi pemimpin negara, tetapi haruslah diingat bahwa kodrat perempuan bukanlah untuk menyaingi kaum laki-laki, karena perempuan mempunyai porsinya tersendiri, kelak perempuan akan menjadi seorang wanita dewasa, menjadi istri bagi suaminya, menjadi Ibu bagi anak-anaknya, dan bertahta menjadi ratu dalam keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar