“Gantungkan Cita-citamu Setinggi
Langit” itulah ungkapan bijak yang sering saya dengar, memang benar kita harus
menggantungkan cita-cita kita setinggi-tingginya, lalu kita pacu diri kita
untuk meraih cita-cita itu, karena memang tidak ada salahnya apabila kita
berkeinginan untuk mencapai atau meraih sesuatu, hidup seperti mati saja
rasanya apabila kita tidak mempunyai cita-cita atau keinginan.
Tetapi ada satu hal yang harus
kita ingat saat kita “berkeinginan”, kita harus sadar diri terhadap kemampuan
kita, kita harus sadar diri terhadap kapasitas kita, dan perbanyaklah berkaca
karena itu baik untuk berinstropeksi agar kita senantiasa mawas diri.
Ini cerita tentang seseorang yang
jiwanya “sakit” karena merasa bahwa
dirinya lebih hebat dari orang lain, tentang sebuah keangkuhan, tetang sebuah
kelihaian memanipulasi diri untuk menutupi segala kekurangannya dengan
merendahkan orang lain, tentang sebuah jiwa yang hampa karena tidak ada seorangpun
yang sejalan dengannya, dan tentang isi kepala yang kosong.
Iri dengki terkadang membawa diri
pada sebuah kenekatan, hingga lupa bahwa Tuhan telah mengatur rejeki setiap
individu dengan porsinya masing-masing, lalu dengan berbagai cara berusaha
untuk mendapatkan apa yang orang lain dapatkan.
Hati tidak perlu terbakar saat
melihat orang lain mampu membeli sebuah mobil, tidak perlu merasa kesal saat
orang lain mendapatkan kepercayaan lebih dari atasan, dan tidak perlu merasa
dongkol saat harus terjungkal dari sebuah jabatan, semua itu hanyalah lembaran
cerita yang tertulis untuk kita, tetapi kita masih punya waktu untuk merubah
nasib kita, dan kita masih punya kesempatan untuk merubah sebuah cerita atau menulis
cerita baru.
Saya lebih memilih diam ketika
seseorang dengan penuh semangat membangga-banggakan saudaranya yang bekerja di
sebuah Bank swasta terkenal, saya lebih memilih diam ketika seseorang
membangga-banggakan karir teman-temannya dengan gaji yang puluhan bahkan
ratusan juta, dan saya hanya memilih diam ketika seseorang membangga-banggakan
sesuatu yang sebetulnya tidak pernah ada.
Saya diam karena saya merasa
kasian, saya diam karena saya merasa prihatin, dalam pandangan saya, apabila
seseorang selalu membangga-banggakan orang lain, itu artinya di dalam diri
orang tersebut sama sekali tidak ada sesuatu yang bisa dibanggakan, di dalam
hidupnya sama sekali tidak pernah ada pencapaian atau prestasi yang membuat
dirinya sendiri merasa bangga, hingga pelampiasannya, dia membangga-banggakan
keberhasilan orang lain untuk menutupi ketidak berhasilan dirinya. Ini
benar-benar sebuah degradasi mental yang harus segera dibenahi.
Masih banyak hal-hal yang terjadi
disekitar kita yang dapat kita ambil hikmahnya, masih banyak orang-orang yang
hidupnya kurang beruntung dan berada di bawah kita, lalu mengapa kita harus
selalu menengadahkan muka kita keatas, memandang keberhasilan orang lain, lalu
kita berusaha untuk menjadi seperti mereka? Bukankah mensyukuri apa yang kita
miliki jauh lebih berarti dari pada memupuk rasa iri terhadap apa yang orang lain
miliki? Bukankah Tuhan telah berjanji akan memberi tambahan rejeki esok hari
apabila rejeki hari ini kita syukuri?
Ada orang yang tingkahlakunya
sama persisis seperti Kunyuk Merindukan Bulan, dia ingin menggapai sesuatu yang
mustahil, karena keinginannya tidak diimbangi dengan potensi yang dia miliki,
selalu menuntut fasilitas yang tidak seimbang dengan kapasitas, dan berharap
keajaiban datang hingga dia dapat meraih lebih dari apa yang orang lain raih, padahal
secara teori kalau kita ingin mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang orang
lain dapatkan, itu artinya kita harus melakukan sesuatu yang lebih dari apa
yang orang lain lakukan.
Seekor Kunyuk hanya mengandalkan
sifat serakahnya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari biasanya, kedua
tangan sudah penuh dengan genggaman dia berusaha menggapai genggaman lain
dengan kaki dan mulutnya, sungguh sebuah sifat serakah yang luar biasa, seekor
kunyuk tidak pernah bekerja dengan keras apalagi bekerja dengan cerdas, kerjanya
sedikit tapi ingin terlihat jelas.
Seekor kunyuk adalah orang yang
“Merasa Pandai tapi Tidak Pandai Merasa”, untuk mengukuhkan berkwalitas
tidaknya hidup kita bukan kita yang menilai tapi pengakuan dari orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar