Please ENJOY

Senin, 18 Februari 2013

Langkahku





Aku tidak ingin berlari lalu berhenti
Tapi, aku ingin melangkah pelan namun pasti
***** gagakasep, 11 April 1993 *****



Langkahku dimulai saat kakiku menaiki satu per satu anak tangga di Komplek Perkantoran Kandaga, Jl. Ahmad Yani, Bandung. Ada jadwal interview dari sebuah perusahaan keluarga, bergerak di bidang penjualan kartu discount yang dapat digunakan di beberapa toko, restaurant, dan berbagai perusahaan jasa, termasuk untuk mendapatkan discount di studio ternama di Bandung. Aku lupa lagi saat-saat interview itu, yang aku ingat bahwa sepatu formal yang aku pakai saat itu sepatu pinjaman, karena saat itu aku tidak memiliki sepasangpun sepatu formal. nama perusahaan itu UNI BROTHER BUSINESS, Interview tidak membuahkan hasil, karena saat interviewpun aku sudah merasa tidak cocok untuk menjadi bagian dari perusahaan itu, menurutku perusahaannya kurang bonafide, dan aku juga merasa bidang yang ditawarkan tidak cocok dengan kemampuanku, tapi lewat interview itu aku jadi tahu bahwa ada perusahaan yang bergerak dibidang penjualan kartu kartu discount bagi siapa saja yang mempunyai sifat konsumtif.

Langkahku dimulai saat aku membuka pintu kaca sebuah restaurant kecil di kawasan Dalem Kaum, daerah alun-alun, pusatnya Kota Bandung, pintu kaca itu bertuliskan BAKWAN HOUSE SURABAYA, dari luar jelas terlihat bahwa restaurant itu cukup ramai, meja dan kursinya dari mebel ternama bermerk Ligna, aku datang bukan sebagai pembeli yang menikmati semangkok bakwan, tapi aku datang khusus untuk memenuhi panggilan interview, aku langsung diterima kerja, restaurant kecil itu baru saja membuka cabang, dan aku di tempatkan di cabang barunya masih di Kota Bandung, tepatnya di Jl. Aceh, selama masa training ± 3 bulan, aku sama sekali tidak menerima gaji, aku hanya diberi uang harian sebagai pengganti transport, nilainya hanya 20,000 rupiah perhari, kerja dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam. Posisiku berbeda dengan posisi saat aku melamar kerja, aku melamar jadi waiter tapi ditempatkan di dapur, tugasku memutar/menyerut es batu untuk pembeli yang memesan es campur, dan itu aku lakukan selama 12 jam setiap harinya. Disana aku berkenalan dengan sesama karyawan, dia seorang waiter senior, namanya Ujang, orangnya sangat baik, ramah, dan bersahaja, Ujang adalah seorang karyawan yang sangat bangga dengan profesinya, yaitu seorang waiter, dari Ujang aku belajar untuk mencintai apapun profesi yang aku jalani.

Langkahku dimulai saat aku memasuki sebuah gedung dengan penerangan yang minim, sebuah tempat hiburan, karaoke, Bar, dan billyard bernama PARAMOUNT, beralamat di Jl. Jendral Sudirman, aku mengambil tempat duduk diantara para calon karyawan lainnya, menunggu giliran interview, saat giliranku tiba, aku duduk berhadapan dengan Boss pemilik tempat hiburan itu, kalau tidak salah namanya Bapak Alvin, sebelum menginterview aku, Pak Alvin memandang wajahku dengan teliti, aku menjadi sedikit risih, lalu Pak Alvin mulai bicara, “untuk menjadi seorang waiter di tempat hiburan seperti ini haruslah mempunyai tampang yang ganteng atau cantik, dan kamu sama sekali tidak ganteng, jadi tidak cocok untuk kerja disini” sambil menyerahkan kembali lamaran yang pernah aku kirimkan via pos. aku tidak diterima kerja di tempat hiburan itu, karena menurut pendapat Pak Alvin tampangku tidak memadai. Dari Pak Alvin aku belajar bahwa, penampilan ikut menentukan diterima tidaknya seseorang untuk menjadi karyawan, terutama di tempat hiburan.

Langkahku dimulai saat kakiku turun dari angkot jurusan Abdul Muis – Dago, aku berhenti di Jl. Sulanjana, dan berjalan kaki ke Jl. Kebon Bibit, di kawasan Taman Sari, aku menerima panggilan untuk interview terakhir, aku diinterview oleh seorang personalia cantik, berwibawa dan smart, namanya Ibu Shinta W. Resty, setelah sebelumnya aku melewati serangkaian interview dan beberapa test termasuk test buta warna, aku diterima kerja di sebuah perusahaan keluarga di bidang properti, perusahaan miliknya Bapak Hongky Darsono, memproduksi Maquette atau miniatur sebuah bangunan, gedung, juga perumahan, nama perusahaan itu PT. Hongky’s Miniatur Jaya, merk dagangnya Hongky’s Maquette, posisiku di bagian finishing, ruangannya bersatu dengan bagian produksi, disana aku berkenalan dengan karyawan harian lainnya, namanya Bapak Asep dan Istrinya Mbak Su (alm.), mereka suami istri yang rukun, giat bekerja dan baik hati, dari mereka berdualah aku belajar bagaimana mensyukuri nikmat dan rejeki yang Tuhan berikan, dari mereka berdualah aku belajar bagaimana caranya bekerja bahu membahu untuk menghidupi keluarga, sebuah kolaborasi suami istri yang harmonis, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Gaji terkahir yang aku terima di perusahaan itu 285 ribu rupiah per bulan, sebuah nilai yang lumayan besar untuk ukuran saat itu, sedikit diatas standard yang ditetapkan Depnaker. Dari gaji itulah aku memulai langkahku untuk selanjutnya, membeli pakaian dan sepatu, membeli segala yang aku butuhkan, termasuk membiayai diri sendiri untuk ikut berbagai macam kursus dan pelatihan, gaji yang sangat aku syukuri, gaji yang penuh dengan barokah.

Hingga saat ini kakiku terus aku langkahkan, selangkah demi selangkah kujalani hidup dengan penuh hati-hati, aku tidak pernah berlari, karena aku takut aku lelah dan berhenti, aku hanya berjalan pelan namun pasti, dan aku tidak akan pernah berhenti.

4 komentar:

  1. Hebat, terharu gue baca tulisan loe ini,my man!

    BalasHapus
  2. ternyata anda pernah jatuh bangun juga

    BalasHapus
  3. My man... untungnya itu hanya masa lalu, s'moga gak dialami ma generasi selanjutnya

    Jajang.... bukan pernah lagi malah sering, satu tempat kerja dengan kamu itu awal dari perubahan segalanya loh

    BalasHapus
  4. Jatuh bangun......jatuh dan bangun itulah awal suksesmu sobat.......terus berjalan, perlahan dan pasti semoga sukses duniamu sukses juga akhiratmu, aamiin....

    BalasHapus