Aku
tidak ingin berlari lalu berhenti
Tapi,
aku ingin melangkah pelan namun pasti
***** gagakasep, 11 April 1993 *****
Langkahku dimulai saat kakiku
menaiki satu per satu anak tangga di Komplek Perkantoran Kandaga, Jl. Ahmad
Yani, Bandung. Ada jadwal interview dari sebuah perusahaan keluarga, bergerak di
bidang penjualan kartu discount yang dapat digunakan di beberapa toko,
restaurant, dan berbagai perusahaan jasa, termasuk untuk mendapatkan discount di studio ternama di Bandung. Aku lupa lagi
saat-saat interview itu, yang aku ingat bahwa sepatu formal yang aku pakai saat itu sepatu pinjaman, karena saat itu aku tidak
memiliki sepasangpun sepatu formal. nama perusahaan itu UNI BROTHER BUSINESS, Interview tidak membuahkan hasil, karena
saat interviewpun aku sudah merasa tidak cocok untuk menjadi bagian dari
perusahaan itu, menurutku perusahaannya kurang bonafide, dan aku juga merasa
bidang yang ditawarkan tidak cocok dengan kemampuanku, tapi lewat
interview itu aku jadi tahu bahwa ada perusahaan yang bergerak dibidang
penjualan kartu kartu discount bagi siapa saja yang mempunyai sifat konsumtif.
Langkahku dimulai saat aku membuka
pintu kaca sebuah restaurant kecil di kawasan Dalem Kaum, daerah alun-alun,
pusatnya Kota Bandung, pintu kaca itu bertuliskan BAKWAN HOUSE SURABAYA, dari
luar jelas terlihat bahwa restaurant itu cukup ramai, meja dan kursinya dari
mebel ternama bermerk Ligna, aku datang bukan sebagai pembeli yang menikmati
semangkok bakwan, tapi aku datang khusus untuk memenuhi panggilan interview,
aku langsung diterima kerja, restaurant kecil itu baru saja membuka cabang, dan
aku di tempatkan di cabang barunya masih di Kota Bandung, tepatnya di Jl. Aceh,
selama masa training ± 3 bulan, aku sama sekali tidak menerima gaji, aku hanya
diberi uang harian sebagai pengganti transport, nilainya hanya 20,000 rupiah
perhari, kerja dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam. Posisiku berbeda dengan
posisi saat aku melamar kerja, aku melamar jadi waiter tapi ditempatkan di
dapur, tugasku memutar/menyerut es batu untuk pembeli yang memesan es campur, dan
itu aku lakukan selama 12 jam setiap harinya. Disana aku berkenalan dengan
sesama karyawan, dia seorang waiter senior, namanya Ujang, orangnya sangat
baik, ramah, dan bersahaja, Ujang adalah seorang karyawan yang sangat bangga
dengan profesinya, yaitu seorang waiter, dari Ujang aku belajar untuk mencintai
apapun profesi yang aku jalani.
Langkahku dimulai saat aku
memasuki sebuah gedung dengan penerangan yang minim, sebuah tempat hiburan,
karaoke, Bar, dan billyard bernama PARAMOUNT, beralamat di Jl. Jendral Sudirman,
aku mengambil tempat duduk diantara para calon karyawan lainnya, menunggu
giliran interview, saat giliranku tiba, aku duduk berhadapan dengan Boss
pemilik tempat hiburan itu, kalau tidak salah namanya Bapak Alvin, sebelum
menginterview aku, Pak Alvin memandang wajahku dengan teliti, aku menjadi
sedikit risih, lalu Pak Alvin mulai bicara, “untuk menjadi seorang waiter di tempat hiburan seperti ini haruslah mempunyai
tampang yang ganteng atau cantik, dan kamu sama sekali tidak ganteng, jadi
tidak cocok untuk kerja disini” sambil menyerahkan kembali lamaran yang
pernah aku kirimkan via pos. aku tidak diterima kerja di tempat hiburan itu,
karena menurut pendapat Pak Alvin tampangku tidak memadai. Dari Pak Alvin aku
belajar bahwa, penampilan ikut menentukan diterima tidaknya seseorang untuk
menjadi karyawan, terutama di tempat hiburan.
Langkahku dimulai saat kakiku
turun dari angkot jurusan Abdul Muis – Dago, aku berhenti di Jl. Sulanjana, dan
berjalan kaki ke Jl. Kebon Bibit, di kawasan Taman Sari, aku menerima panggilan
untuk interview terakhir, aku diinterview oleh seorang personalia cantik,
berwibawa dan smart, namanya Ibu Shinta W. Resty, setelah sebelumnya aku
melewati serangkaian interview dan beberapa test termasuk test buta warna, aku
diterima kerja di sebuah perusahaan keluarga di bidang properti, perusahaan
miliknya Bapak Hongky Darsono, memproduksi Maquette atau miniatur sebuah
bangunan, gedung, juga perumahan, nama perusahaan itu PT. Hongky’s Miniatur
Jaya, merk dagangnya Hongky’s Maquette, posisiku di bagian finishing, ruangannya
bersatu dengan bagian produksi, disana aku berkenalan dengan karyawan harian
lainnya, namanya Bapak Asep dan Istrinya Mbak Su (alm.), mereka suami istri
yang rukun, giat bekerja dan baik hati, dari mereka berdualah aku belajar
bagaimana mensyukuri nikmat dan rejeki yang Tuhan berikan, dari mereka
berdualah aku belajar bagaimana caranya bekerja bahu membahu untuk menghidupi
keluarga, sebuah kolaborasi suami istri yang harmonis, berat sama dipikul,
ringan sama dijinjing. Gaji terkahir yang aku terima di perusahaan itu 285 ribu
rupiah per bulan, sebuah nilai yang lumayan besar untuk ukuran saat itu,
sedikit diatas standard yang ditetapkan Depnaker. Dari gaji itulah aku memulai
langkahku untuk selanjutnya, membeli pakaian dan sepatu, membeli segala yang
aku butuhkan, termasuk membiayai diri sendiri untuk ikut berbagai macam kursus
dan pelatihan, gaji yang sangat aku syukuri, gaji yang penuh dengan barokah.
Hingga saat ini kakiku terus aku
langkahkan, selangkah demi selangkah kujalani hidup dengan penuh hati-hati, aku
tidak pernah berlari, karena aku takut aku lelah dan berhenti, aku hanya
berjalan pelan namun pasti, dan aku tidak akan pernah berhenti.
Hebat, terharu gue baca tulisan loe ini,my man!
BalasHapusternyata anda pernah jatuh bangun juga
BalasHapusMy man... untungnya itu hanya masa lalu, s'moga gak dialami ma generasi selanjutnya
BalasHapusJajang.... bukan pernah lagi malah sering, satu tempat kerja dengan kamu itu awal dari perubahan segalanya loh
Jatuh bangun......jatuh dan bangun itulah awal suksesmu sobat.......terus berjalan, perlahan dan pasti semoga sukses duniamu sukses juga akhiratmu, aamiin....
BalasHapus