Ada yang tak pasti di antara yang
pasti, segalanya sangat sulit untuk diprediksi, jangan terlalu berharap mendung
segera berganti cerah, dan pelangi membiaskan sinarnya di setiap ujung badai,
seekor ulatpun belum tentu mampu mempertahankan hidupnya hingga menjadi
kupu-kupu, karena segalanya belum tentu akan berakhir indah.
Benarkah badai pasti berlalu?
Ini kisah tentang orang yang
akhirnya menyerah terhadap nasib setelah sekian lama berjuang melawan nasib itu
sendiri, roda kehidupan yang mereka jalani belum juga berputar.
Namanya Ibu Tita, usianya sekitar
55 tahun, orangnya sangat cantik dan supel, kehidupan rumah tangganya bisa
dibilang mapan secara ekonomi, dari pernikahannya Ibu Tita dikaruniai satu
orang putra dan satu orang putri, kedua putra putrinya sudah lulus kuliah dan
mereka sekarang bekerja di sebuah Bank Swasta Nasional, sedangkan suaminya
seorang pembisnis dibidang properti, sebenarnya jarak rumah saya dengan rumah
Ibu Tita tidak terlalu jauh, tapi kami tidak begitu akrab, jadi sayapun
mengenal kehidupan Ibu Tita hanya dari luarnya saja. Ibu Tita adalah seorang
difabel, dia mempunyai ketidak sempurnaan fisik, karena kaki kirinya lebih
pendek, bahkan hanya sepertiga panjang kaki kanannya, ketidak sempurnaan ini
dia sandang semenjak dia lahir, di rumah Ibu Tita selalu memakai kursi roda,
tapi kalau berpergian selalu menggunakan tongkat penyangga yang diselipkan
diatara ketiaknya.
Disamping rumah Ibu Tita tumbuh
pohon jambu air dan pohon ceremai, kedua pohon ini sangat lebat buahnya, saya
selalu ingat sewaktu saya kecil, Ibu Tita sering memberi saya jambu air dan
ceremai yang dia petik dari pohonnya.
Lima tahun yang lalu Ibu Tita dan
suaminya pindah ke daerah Bale Endah, sedangkan kedua anaknya tetap tinggal di
Bandung, semenjak saat itu, saya tidak pernah lagi bertemu dengan Ibu Tita
maupun suaminya.
Namun entah apa yang terjadi,
tiba-tiba saya mendengar kabar kalau Ibu Tita bunuh diri! Dia gantung diri,
mayatnya ditemukan tetangga sekitar, tergantung kaku terjerat tali tambang yang
dia ikatkan ke leher dan ujungnya dia ikatkan ke kusen di lantai dua rumahnya.
Astaghfirulloh.... saya sampai
merinding mendengar kabar itu,
Lewat saudaranya saya mendengar
sebuah kisah pilu yang selama ini belum pernah saya dengar, karena selalu
ditutup-tutupi.
Ternyata, kehidupan Ibu Tita
tidaklah seindah yang saya dan orang-orang bayangkan, terutama kehidupan
pribadinya, tumbuh dengan ketidak sempurnaan fisik membuat Ibu Tita selalu
mendapatkan cemoohan dari orang-orang disekitarnya, hingga suatu saat Ibu Tita
menikah, dan dari suaminya itulah dia berharap mendapatkan suatu kebahagiaan, namun
jauh api dari panggang, kebahagiaan yang dia harapkan tidak juga kunjung
datang, suaminya adalah pria yang hobi berselingkuh, dia mempunyai lebih dari
satu istri juga perempuan-perempuan lain yang dijadikan simpanannya.
Kesabaran manusia pastilah ada
batasnya, begitu juga dengan kesabaran Ibu Tita, hingga akhirnya dia mengambil
jalan pintas dengan Egoistic Suicide.
Mungkin saat itu Ibu Tita dilanda keputusasaan dan depresi, dalam menghadapi
cobaan hidup yang berkepanjangan.
Bunuh diri sering kali dianggap
jalan keluar, karena kematian mampu melewati batas segala bentuk permasalahan
di dunia, seperti seorang pecandu narkoba yang sudah tidak tahan lagi dengan sakitnya
saat sakaw/ketagihan, berusaha mengakhiri hidupnya dengan mengkonsumsi
obat-obatan terlarang melebihi dosis yang dia pakai, lalu saat mayatnya
ditemukan, orang-orang menganggap bahwa dia mengalami overdosis, padahal kalau
saja mayatnya bisa berbicara, pastilah dia bersaksi bahwa dia memang sengaja
mengkonsumsi narkoba tersebut diatas takaran yang sebenarnya dia sendiri
mengetahuinya, dia sengaja melakukan bunuh diri untuk menuntaskan rasa sakit
yang dia derita saat sakaw.
Ada juga seorang mahasiswi yang
mengakhiri hidupnya dengan menjatuhkan diri di lantai atas sebuah apartement,
lalu orang-orang awam menganggapnya bahwa perbuatan itu sangatlah bodoh, saya
tidak menyalahkan pendapat orang-orang itu, dan sayapun tidak membenarkan
tindakan mahasiswi nekat itu, namun bila kita berpikir lebih dalam lagi,
pastilah mahasiswi itu mengalami tekanan yang sangat hebat, dan pastilah
permasalahan yang menghimpitnya lebih dari satu, lalu terakumulasikan, saat
segalanya melampaui batas daya tahan, mengakhiri hidup menjadi alternatif yang
dia pilih.
kalau saja kita mau sedikit
membagi empati kita, lalu kita memposisikan diri seperti posisi dia, tidak ada
yang bisa menjamin bahwa kita akan mampu bertahan dan berhasil mencari jalan
keluar dari permasalahan itu.
Kisah pilu juga dialami seorang
bapak di sebuah desa di daerah Jawa Timur, si bapak nekat mengakhiri hidupnya
dengan meminum racun serangga, karena jengkel dengan penyakit paru-paru yang
dideritanya.
Tuhan memang tidak mungkin
memberikan cobaan yang diluar batas kemampuan manusia, janji Tuhan atas hidup
setiap manusia sangat jelas, Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup yang selalu
mulus dan baik-baik saja, namun Tuhan menjanjikan saat hidup kita bermasalah,
DIA telah menyediakan jawaban dan jalan keluarnya, jadi sebenarnya apapun juga
permasalahan yang dihadapi manusia, jalan keluar dari segala permasalahan hidup
kita telah tersedia, dan tulisan ini bukanlah sebagai bentuk penghakiman bagi
mereka yang dianggap kurang beriman, karena masalah iman dan keyakinan itu
adalah masalah yang vertikal.
Jadi ada baiknya kita mulai
berusaha untuk selalu menolong orang-orang disekitar kita dengan cara apapun
juga, agar mereka yang dalam kesusahan tidak lantas mengambil jalan pintas
untuk mengakhiri hidup dan segala permasalahannya, agar tidak ada lagi
orang-orang yang Takluk dengan kehidupannya.
Begitulah liku2 hidup disekitar kita ya sep....dimana cover tak sama dengan isinya....semoga semua story tsb di atas menjadi pelajaran dalam meningkatkan keimanan kita secara khusus...aamiin...
BalasHapus