Dalam
sebuah ruang lingkup pekerjaan, sebuah perubahan posisi sangatlah lazim,
seorang karyawan bisa saja dengan tiba-tiba mengalami mutasi, demosi atau
promosi, ketiga perubahan ini meskipun sesuatu yang biasa, tetapi tidak menutup
kemungkinan mengakibatkan gejolak yang luar biasa, baik pada karyawan yang
mengalami perubahan itu, ataupun pada rekan-rekan disekelilingnya.
Untuk
menguji seberapa dalam tingkat kesabaran, ketekunan, loyalitas, dan dedikasi
adalah pada saat seorang karyawan mengalami mutasi atau demosi, sedangkan untuk
mengukur seberapa tinggi tingkat arogansi seseorang bisa kita ukur saat seorang
karyawan mengalami promosi. Namun seberapa besar akibat negative yang
ditimbulkan dari perubahan posisi dalam sebuah pekerjaan, itu sangat tergantung
dari emosional management dari tiap-tiap individu.
Bagaikan
mata uang yang mempunyai dua sisi, efek dari sebuah perubahan posisi jabatan,
sebenarnya bisa disikapi dengan positif, seorang karyawan yang mengalami mutasi
atau demosi, bisa menjadikan penurunan posisi tsb sebagai bahan untuk
instrofeksi diri, hingga kedepannya bisa bekerja lebih baik lagi dan berusaha
mengejar ketertinggalannya selama ini, sedangkan karyawan yang mengalami
promosi bisa terpacu untuk lebih baik lagi, hingga suatu saat karirnya bisa
berada dipuncak tertinggi.
Namun
kenyataannya tidaklah demikian, karyawan yang mengalami mutasi atau demosi,
sering malah terpuruk, dan frustasi dengan nasib yang menimpa dirinya, lalu
timbulah apriori terhadap perusahaan dan pihak management tempatnya bekerja,
hilangnya loyalitas dan terkikisnya dedikasi, begitu juga dengan karyawan yang
mendadak mendapatkan promosi, bila tidak disikapi dengan positif terkadang
malah timbul degradasi moral, over percaya diri, dan arogansi yang berlebihan,
biasanya disertai dengan unjuk kekuasaan secara membabi buta.
Karyawan
yang secara emosional belum siap untuk menerima jabatan yang lebih tinggi,
biasanya berusaha menunjukan kekuasaannya dengan cara yang berlebihan, agresif
dalam memerintah, ingin selalu didengar, tidak bisa menerima masukan dari sesama
karyawan lain yang dulu pernah selevel dengannya, dan yang lebih parah lagi,
apabila tidak mempunyai emosional control, terkadang karyawan tersebut terlepas
dari garis organisasi yang telah diatur oleh pihak management di perusahaannya,
berani menegur divisi lain (lintas divisi) dan merasa bahwa dirinyalah yang
paling benar. seperti planet yang keluar dari orbitnya.
Uforia
terhadap naiknya jabatan, seringkali membuat seorang karyawan lupa diri, lupa
bahwa posisinya yang lebih tinggi itu hanya dalam batas tatanan organisasi diperusahaan
saja, dan bukan dalam hubungan sosial dengan karyawan lain di luar urusan
pekerjaan, tetapi terkadang, seorang karyawan yang sudah mendapatkan kenaikan
jabatan seringkali merasa lebih tinggi posisinya meskipun di luar urusan
pekerjaan, hal ini akan menimbulkan social gap dalam hubungan pergaulannya
dengan sesama karyawan lain, selalu merasa benar sendiri, tidak ingin didebat,
mendominasi setiap pembicaraan. Cepat atau lambat karyawan seperti ini akan
dijauhi oleh karyawan lain di dalam pergaulannya.
Ternyata tidak
semua hal positif itu akan menimbulkan efek yang positif , itu semua tergantung
dari bagaimana cara pandang kita dan cara kita menyikapinya. Seperti kenaikan
jabatan yang sebenarnya sangat positif ternyata bisa berakibat negative bagi
dirinya maupun karyawan lain disekitarnya.
Seorang
karyawan yang baru saja mendapatkan promosi jabatan ke jenjang yang lebih
tinggi, lalu lupa diri, dan bersikap arogansi, ingin menang sendiri,
mendominasi pembicaraan dan tidak mau menerima masukan, itu ibarat sebuah pohon
besar yang tinggi menjulang, semakin tinggi pohon itu, semakin kencang juga
angin diatas menerpanya, kelihatannya pohon itu kuat karena mempunyai batang
yang besar, namun sebenarnya pohon itu sangatlah rapuh karena akarnya tidak kokoh menancap kedalam. Ada baiknya apabila kenaikan jabatan itu
disertai dengan kedewasaan sikap dalam keseharian, lapang dada untuk menerima
kritikan atau masukan dari karyawan lain, dan berusaha untuk dapat merangkul
karyawan lain yang posisinya dibawah karyawan tsb.
Seorang
karyawan yang baru saja mendapatkan promosi jabatan yang lebih tinggi,
janganlah seperti planet yang keluar dari orbitnya, atau seperti pohon besar
yang mudah tumbang karena akarnya tidak kokoh menancap kedalam tanah, karena
sebenarnya, karyawan tsb adalah karyawan yang “sakit kronis”
yang harus segera diobati.
yang lebih parah lagi ada orang yg tidak bisa membedakan posisi ketika dijam kerja dan ketika diluar jam kerja! anggapannya sama: mereka anak buah!
BalasHapusbegitu juga para anak buah: beliau atasan saya!
ujung2nya urusan kerja dan pribadi jd campur aduk!
Jabatan yang tinggi memikul tanggung jawab yang tinggi juga, dan amanah yang besar pula.
BalasHapusAndaikan itu dipahami maka tidak ada namanya uforia, atau lupa diri.
Sehingga apabila itu dipahami, tidak akan ada orang-orang yang mengusahakan berbagai cara agar mendapatkan posisi bagus dengan cara-cara yang merugikan orang lain (walaupun dalam konteksnya, tidak berasa merugikan orang lain dalam bentuk harfiah, karena dalam bentuk kesenangan duniawi yang sesaat, yaitu materi)
Dan cara itu cara yang paling tidak kentara merugikan orang lain.
Kalau sudah berurusan dengan jabatan rata2 orang akan berubah sifat. Mungkin disebabkan karena naiknya status juga naiknya tunjangan gaji dsb. Untuk orang yang memang sifatnya sudah humble maybe ini tidak membahayakan tapi bagi org yang sifat nya sudah negatif sejak awal ini memang tampaknya menjadi bencana bagi dia bahkan bagi orang lain mungkin. Kalau bencana buat sndiri sih itu derita sendiri yah, tapi kalau buat orang lain itu yang merugikan. Mungkin juga bisa menghancurkan orang lain....kasian kan....orang lain menjadi korban dari keegoisan sndiri...
BalasHapus