Di lingkungan kecil seperti keluarga, di lingkungan sekitar
tempat kita tinggal ataupun dijalanan, sering kita jumpai orang-orang yang
terlahir dengan fisik yang tidak sama dengan orang lain pada umumnya, mereka
adalah orang-orang minoritas dengan segala jenis keterbatasan karena kekurang
sempurnaan tubuh yang mereka miliki, baik karena bawaan sejak lahir maupun
karena kecelakaan yang terjadi setelah mereka lahir, lalu kita menyebutnya orang
cacat, namun sebetulnya sebutan orang cacat dirasa terlalu kasar dan mengandung
arti melecehkan, atau merendahkan, kata cacat sepertinya kurang tepat disandang
oleh orang-orang yang mempunyai ketidak sempurnaan secara fisik, kata cacat
hanya cocok digunakan terhadap benda mati yang tak bernyawa atau untuk produk
afkiran dengan kwalitas nomor sekian.
Ada sebutan yang lebih layak dan manusiawi bagi
orang-orang yang mempunyai ketidak sempurnaan fisik, yaitu DIFABEL, sebetulnya
kata Difabel adalah pengindonesiaan dari sebuah singkatan kalimat dalam bahasa
inggris “Different Abilities People” yaitu orang-orang dengan kemampuan yang
berbeda karena adanya keterbatasan fisik yang mereka miliki.
Dalam ruang lingkup keluarga atau lingkungan sekitar
tempat kita tinggal, terkadang kaum Difabel selalu dipandang sebelah mata,
mereka dianggap beban bagi orang-orang yang mempunyai kesempurnaan fisik. Kaum difabel
selalu dianggap golongan orang-orang yang tidak mampu mandiri, mempunyai
ketergantungan yang besar terhadap orang lain dan mempunyai masa depan yang
tidak jelas. Padahal Tuhan senantiasa memberikan yang terbaik, dengan segala
kekurangan yang Tuhan berikan, sebenarnya tersimpan kelebihan atau potensi yang
sangat besar, yang apabila digunakan mampu untuk menopang atau dipakai sandaran
hidup.
Disaat kita sedang mengalami kesulitan, dimana tidak
ada orang-orang disekitar yang dapat dimintai pertolongan, hanya terhadap
kelebihan atau potensi (skill) yang kita milikilah kita bisa menggantungkan
harapan kita. Begitu juga dengan kaum difabel, dibalik ketidak sempurnaannya,
sebetulnya tersimpan kelebihan atau potensi yang sangat besar, yang apabila
digunakan, mampu untuk menopang hidupnya, hingga dia tidak perlu besandar
mengandalkan orang lain untuk selalu membantunya.
Saya begitu kagum terhadap sosok para difabel yang
berusaha sekuat tenaga, dengan segala kekurangan yang mereka miliki, mereka bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa pernah sedikitpun mengharapkan belas
kasihan dari orang lain.
Saya jadi teringat dengan seorang seniman tuna
netra, sosok “Braga Stone” yang melegenda, di Bandung di sekitar kawasan braga,
beliau pernah menjadi seniman jalanan yang membuat decak kagum bagi siapapun
juga yang mendengar alunan kecapi yang dia mainkan, ataupun seniman tuna netra
lainnya seperti Nenden Sintawati (mantan penyanyi cilik di era 80-an,
seangkatan dengan Julius Sitanggang), beberapa tahun yang lalu, saya pernah
menyaksikan kehebatan Nenden memainkan gitar, sambil mengalunkan sebuah lagu “Unbreak
my heart” miliknya Toni Braxton, petikan gitar Nenden sangat baik dan kemampuan
vocalnya sungguh luar biasa.
Sayapun dibuat kagum terhadap figur Habibie Afsyah,
yang saya lihat di acara talk show sebuah stasiun televisi swasta, Habibie
adalah seorang penderita Muscolar Dystrophy, dalam usianya yang masih belia, dia
mendapatkan penghargaan Danamon Award 2012, Habibie mendirikan sebuah yayasan yang
diberi nama “Yayasan Habibie Afsyah” sebuah yayasan yang didirikan khusus untuk
memotifasi para difabel lain yang bernasib seperti dirinya, selain mendirikan
yayasan, habibie juga sibuk berbisnis di dunia maya dan berhasil meraup
keuntungan $ 1000 secara rutin, semua itu dia lakukan di atas kursi rodanya.
Ada juga sosok Pak Sugeng dari Mojokerto – Jawa Timur,
Pak Sugen adalah salah satu contoh kaum difabel yang berhasil mebuktikan
kemandiriannya, lewat kedermawanannya, Pak Sugeng yang tidak mempunyai kaki dan
sehari-harinya menggunakan kaki palsu, membuat “Phrotesa” atau kaki palsu yang
dia bagi-bagikan melalui program 1000 kaki palsu, gratis bagi para difabel yang
tidak memiliki kaki dan tidak mampu secara ekonomi.
Namun tidak semua kaum difabel seberuntung dan
seterkenal orang-orang diatas, masih banyak disekitar kita, para difabel yang
harus berjuang lebih keras lagi, dengan menjadi tukang parkir, tukang sapu
jalan, tukang tambal ban dll, namun mereka tetap bisa membuktikan terhadap
kita, bahwa merekapun mampu bekerja sesuai dengan kapasitasnya, mereka mampu
membuktikan bahwa kaum difabel juga bisa mandiri dan mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sungguh malu rasanya, apabila kita yang lahir dengan
bentuk fisik yang lengkap, tidak mampu untuk bekerja, dan tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidup kita sendiri. Banyak orang-orang yang dilahirkan
dengan kondisi fisik yang lengkap namun tidak mampu berbuat apa-apa, hanya diam,
menyerah terhadap nasib tanpa pernah berusaha untuk merubahnya kearah yang
lebih baik, sementara kaum difabel sudah mampu membuktikan bahwa Difabel ≠
Disable.
Peran serta anggota masyarakat secara aktif sangat diperlukan agar teman-teman difabel bisa hidup layak, mandiri dan wajar dalam masyarakat. Peran aktif itu antara lain bisa diwujudkan melalui RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat)....
BalasHapusThanks sob, atas artikel yg inspiratif ini..
Terima kasih CIQAL atas kunjungannya, saya bangga artikel saya dikunjungi oleh sebuah yayasan atau institusi yang sangat concern terhadap kaum difabel, s'moga program-program CIQAL dapat berjalan lancar dalam memberdayakan para difabel agar bisa hidup lebih mandiri
BalasHapusbuat introspeksi diri sebagai manusia yg sempurna
BalasHapus