Please ENJOY

Jumat, 12 Oktober 2012

Difabel ≠ Disable



Di lingkungan kecil seperti keluarga, di lingkungan sekitar tempat kita tinggal ataupun dijalanan, sering kita jumpai orang-orang yang terlahir dengan fisik yang tidak sama dengan orang lain pada umumnya, mereka adalah orang-orang minoritas dengan segala jenis keterbatasan karena kekurang sempurnaan tubuh yang mereka miliki, baik karena bawaan sejak lahir maupun karena kecelakaan yang terjadi setelah mereka lahir, lalu kita menyebutnya orang cacat, namun sebetulnya sebutan orang cacat dirasa terlalu kasar dan mengandung arti melecehkan, atau merendahkan, kata cacat sepertinya kurang tepat disandang oleh orang-orang yang mempunyai ketidak sempurnaan secara fisik, kata cacat hanya cocok digunakan terhadap benda mati yang tak bernyawa atau untuk produk afkiran dengan kwalitas nomor sekian.

Ada sebutan yang lebih layak dan manusiawi bagi orang-orang yang mempunyai ketidak sempurnaan fisik, yaitu DIFABEL, sebetulnya kata Difabel adalah pengindonesiaan dari sebuah singkatan kalimat dalam bahasa inggris “Different Abilities People” yaitu orang-orang dengan kemampuan yang berbeda karena adanya keterbatasan fisik yang mereka miliki.

Dalam ruang lingkup keluarga atau lingkungan sekitar tempat kita tinggal, terkadang kaum Difabel selalu dipandang sebelah mata, mereka dianggap beban bagi orang-orang yang mempunyai kesempurnaan fisik. Kaum difabel selalu dianggap golongan orang-orang yang tidak mampu mandiri, mempunyai ketergantungan yang besar terhadap orang lain dan mempunyai masa depan yang tidak jelas. Padahal Tuhan senantiasa memberikan yang terbaik, dengan segala kekurangan yang Tuhan berikan, sebenarnya tersimpan kelebihan atau potensi yang sangat besar, yang apabila digunakan mampu untuk menopang atau dipakai sandaran hidup.

Disaat kita sedang mengalami kesulitan, dimana tidak ada orang-orang disekitar yang dapat dimintai pertolongan, hanya terhadap kelebihan atau potensi (skill) yang kita milikilah kita bisa menggantungkan harapan kita. Begitu juga dengan kaum difabel, dibalik ketidak sempurnaannya, sebetulnya tersimpan kelebihan atau potensi yang sangat besar, yang apabila digunakan, mampu untuk menopang hidupnya, hingga dia tidak perlu besandar mengandalkan orang lain untuk selalu membantunya.

Saya begitu kagum terhadap sosok para difabel yang berusaha sekuat tenaga, dengan segala kekurangan yang mereka miliki, mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa pernah sedikitpun mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Saya jadi teringat dengan seorang seniman tuna netra, sosok “Braga Stone” yang melegenda, di Bandung di sekitar kawasan braga, beliau pernah menjadi seniman jalanan yang membuat decak kagum bagi siapapun juga yang mendengar alunan kecapi yang dia mainkan, ataupun seniman tuna netra lainnya seperti Nenden Sintawati (mantan penyanyi cilik di era 80-an, seangkatan dengan Julius Sitanggang), beberapa tahun yang lalu, saya pernah menyaksikan kehebatan Nenden memainkan gitar, sambil mengalunkan sebuah lagu “Unbreak my heart” miliknya Toni Braxton, petikan gitar Nenden sangat baik dan kemampuan vocalnya sungguh luar biasa.
 
Sayapun dibuat kagum terhadap figur Habibie Afsyah, yang saya lihat di acara talk show sebuah stasiun televisi swasta, Habibie adalah seorang penderita Muscolar Dystrophy, dalam usianya yang masih belia, dia mendapatkan penghargaan Danamon Award 2012, Habibie mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama “Yayasan Habibie Afsyah” sebuah yayasan yang didirikan khusus untuk memotifasi para difabel lain yang bernasib seperti dirinya, selain mendirikan yayasan, habibie juga sibuk berbisnis di dunia maya dan berhasil meraup keuntungan $ 1000 secara rutin, semua itu dia lakukan di atas kursi rodanya.

Ada juga sosok Pak Sugeng dari Mojokerto – Jawa Timur, Pak Sugen adalah salah satu contoh kaum difabel yang berhasil mebuktikan kemandiriannya, lewat kedermawanannya, Pak Sugeng yang tidak mempunyai kaki dan sehari-harinya menggunakan kaki palsu, membuat “Phrotesa” atau kaki palsu yang dia bagi-bagikan melalui program 1000 kaki palsu, gratis bagi para difabel yang tidak memiliki kaki dan tidak mampu secara ekonomi.

Namun tidak semua kaum difabel seberuntung dan seterkenal orang-orang diatas, masih banyak disekitar kita, para difabel yang harus berjuang lebih keras lagi, dengan menjadi tukang parkir, tukang sapu jalan, tukang tambal ban dll, namun mereka tetap bisa membuktikan terhadap kita, bahwa merekapun mampu bekerja sesuai dengan kapasitasnya, mereka mampu membuktikan bahwa kaum difabel juga bisa mandiri dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
 
Sungguh malu rasanya, apabila kita yang lahir dengan bentuk fisik yang lengkap, tidak mampu untuk bekerja, dan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sendiri. Banyak orang-orang yang dilahirkan dengan kondisi fisik yang lengkap namun tidak mampu berbuat apa-apa, hanya diam, menyerah terhadap nasib tanpa pernah berusaha untuk merubahnya kearah yang lebih baik, sementara kaum difabel sudah mampu membuktikan bahwa Difabel ≠ Disable.

3 komentar:

  1. Peran serta anggota masyarakat secara aktif sangat diperlukan agar teman-teman difabel bisa hidup layak, mandiri dan wajar dalam masyarakat. Peran aktif itu antara lain bisa diwujudkan melalui RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat)....

    Thanks sob, atas artikel yg inspiratif ini..

    BalasHapus
  2. Terima kasih CIQAL atas kunjungannya, saya bangga artikel saya dikunjungi oleh sebuah yayasan atau institusi yang sangat concern terhadap kaum difabel, s'moga program-program CIQAL dapat berjalan lancar dalam memberdayakan para difabel agar bisa hidup lebih mandiri

    BalasHapus
  3. buat introspeksi diri sebagai manusia yg sempurna

    BalasHapus