Please ENJOY

Senin, 22 Oktober 2012

Sawah



Suatu sore di hari minggu, dengan sengaja saya meluangkan waktu untuk jalan-jalan keluar masuk perkampungan penduduk, di sebuah desa di kabupaten Bandung, saya ingin napak tilas, saya ingin mengenang kembali saat-saat indah masa kecil saya, saya ingin menghirup kembali harumnya aroma tanah basah, riuhnya semilir angin diantara daun-daun pohon pisang, menghuninganya padi yang menyegarkan mata, kicauan burung dan gemericiknya air.

Sepanjang mata memandang, yang terlihat hanya hamparan padi yang siap untuk dituai, “hhhmmm.... betapa suburnya Indonesia”, lamunan membentang kemasa lalu, ketika langkah kaki mulai menapaki pematang diantara petak-petak sawah, ada pengalaman-pengalaman indah yang tak mungkin untuk dilupakan.

Beberapa tahun yang lalu, saat usia masih 12 tahun, saya sering main di sawah, mencari ikan dan belut, menangkap burung, atau mencari telur-telur dari bebek yang sedang digembalakan, atau hanya untuk sekedar berenang gratis di kolam ikan.

-------------------------------------------------
  
Burung gereja, burung pipit dan ketepel.

Setelah padi beberapa kali panen, biasanya petani akan menanam palawija atau mengairi sawah untuk sementara, tujuannya untuk penyegaran, agar sawah yang sudah beberapa kali ditanami padi kembali subur pada musim tanam selanjutnya, dan palawija yang biasa ditanam adalah pohon jagung, saat biji jagung mulai bermunculan saat itu pula sekawanan burung gereja dan burung pipit mulai berdatangan, biasanya petani harus kerja ekstra untuk menghalau burung-burung itu, dan saat itulah moment yang tepat untuk berburu burung, saya pergi berdua teman kecil saya, namanya Dadan, dia ahlinya berburu burung, tapi disana ternyata kami tidak cuma berdua, ada beberapa orang yang memang sengaja berprofesi sebagai pemburu burung, biasanya mereka berburu dengan menggunakan jaring khusus yang dibentangkan atau menggunakan getah pohon yang sangat lengket sebagai perangkap.

Saya dan Dadan menggunakan alat yang sangat sederhana, yaitu ketepel sejenis alat pelontar batu, bahan yang paling baik untuk ketepel biasanya dibuat dari batang pohon jambu batu, selain membawa ketepel, biasanya Dadan juga membawa panah, Dadan sangat ahli sekali dalam memanah, dia bahkan mampu memanah ikan yang berenang di dalam kolam atau sungai dari jarak yang cukup jauh, anak panahnya selalu melesat tepat sasaran.

Kami berburu burung menggunakan ketepel, kami lontarkan batu kecil menggunakan ketepel kearah burung yang sedang bertengger di atas pohon jagung, kami tidak pernah menggunakan panah yang dibawa Dadan dari rumahnya, tapi panah tetap sangat kami butuhkan untuk “melindungi diri” karena setiap pulang dan pergi kami harus melewati wilayah/jalan yang banyak anjing liarnya, kami harus melewati rumah penduduk yang memelihara anjing, bahkan anjing-anjing mereka dibiarkan berkeliaran di depan rumahnya masing-masing, diatara anjing-anjing itu banyak juga jenis anjing besar yang sangat berbahaya, seperti: helder, doberman, atau bulldog.

Saat anjing-anjing itu mulai mendekat kearah kami, saat itulah Dadan beraksi dengan panahnya,...”sreeepppttt”... biasanya anak panah yang dibidikan selalu menancap tepat sasaran, kalau saya hitung mungkin lebih dari 7 anjing yang pernah terkena anak panah, dan pastinya anjing-anjing itu mati. Wow... meskipun waktu itu usia kami masih kecil, tapi keahlian Dadan dalam memanah tak perlu diragukan lagi. Kami berdua selalu selamat dari gigitan anjing.
 --------------------------------------------------
Mereka yang meracuni, kami yang memungut.



Banyak cara untuk mendapatkan belut disawah, selain dengan strum yang menggunakan accu, juga bisa dengan racun, namanya portas, racun sejenis portas dapat dengan  mudah didapatkan, biasanya bisa kita beli di toko material bahan bangunan, saya sendiri kurang faham mengapa toko material bahan bangunan menjual racun sejenis portas, mungkin ada fungsi lain dari fortas ini sehingga toko material bahan bangunan menjualnya.


Saya tidak pernah secara langsung menggunakan portas untuk meracuni belut, tapi mereka, orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal sering melakukannya, caranya mereka menaburi racun diatas lubang belut, lalu membiarkannya antara 30 menit sampai 1 jam, kemudian mereka kembali ke lubang itu untuk mengambil belut-belut yang hampir mati.

Saya dan teman-teman tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, saat mereka, orang-orang yang tidak saya kenal menaburkan portas ke atas lubang-lubang belut, kami memperhatikannya dari kejauhan, hingga mereka menjauh untuk sementara, mencari lubang belut yang lain untuk ditaburi racun, nah kesempatan inilah yang saya dan teman-teman gunakan untuk mendapatkan belut tanpa harus bersusah payah meracuni terlebih dahulu apalagi memancingnya. Saat mereka pergi untuk sementara dan belum kembali, saat itulah kami beraksi mengambil belut-belut yang sempoyongan hampir mati, mudah sekali karena belut-belut itu dalam keadaan lemas, tapi kami harus segera pergi sebelum mereka, orang-orang yang menaburi racun itu kembali ke tempat asal untuk mengambil belut-belut yang sudah diracuninya. He he he .... dengan akal semua menjadi mudah, benar sekali pepatah yang mengatakan “kita tidak perlu kerja keras, cukup kerja dengan cerdas”.

Racun portas adalah racun yang mudah sekali larut dalam air, dan efek racunnya tidak terlalu berbahaya asalkan kita mencuci belut-belut itu dengan bersih, selain belut ikanpun bisa kita dapatkan dengan mudah menggunakan racun ini, dan ikannya juga aman untuk dikonsumsi.

----------------------------------------------------------------------------------



Kolam ikan milik Pak Raden.

Biasanya sehabis mencari ikan atau belut, kami selalu berenang di kolam ikan, sekalian membersihkan badan kami dari kotornya lumpur sawah, lumayan berenang gratis, namun apabila kolam ikan itu baru saja diisi dengan bibit ikan yang masih kecil, atau pada saat ikan-ikan lagi musim bertelur, kami dilarang untuk berenang di dalam kolam, karena akan mengganggu telur-telur ikan dan menggagu bibit ikan yang masih kecil-kecil.

Si pemilik kolam bernama Pak Raden, kami memanggilnya Pak Raden karena badannya gemuk besar dengan kumis yang melintang menutup bibir bagian atas, persis seperti tokoh Pak Raden di serial film boneka Si Unyil, Pak Raden sangat galak, dia tidak segan-segan mengejar dan mengusir anak-anak yang berenang dikolamnya.

Suatu sore, sehabis mencari ikan, saya dan kedua teman kecil saya Eki dan Boni berenang di kolam ikan miliknya Pak Raden, saat itu usia kami sudah menginjak remaja, kami sudah kelas 3 SMP, baju dan celana kami lepas dan kami simpan di atas pematang di pinggiran kolam, kami brtiga berenang telanjang bulat, berenang sambil bercanda dan terus bercanda, hingga air kolam yang warnanya coklat semakin keruh, kami tidak tahu bahwa pagi hari Pak Raden baru saja memasukan benih ikan ke dalam kolam itu, sebenarnya kolam ikan Pak Raden sangat besar, ukurannya hampir sebesar lapangan sepak bola, bahkan saking besarnya kitapun bisa menggunakan rakit atau perahu kecil untuk mengelilingi kolam itu.

Dari kejauhan kami melihat Pak Raden berjalan mendekati kolam ikan tempat kami berenang, namun tidak seperti biasanya, Pak Raden berjalan santai tidak berteriak-teriak sambil berlari mengejar kami, Pak Raden berjalan santai mendekati kolam tempat kami berenang, karena kelihatannya Pak Raden tidak marah, kamipun santai saja berenang sambil tertawa dan bercanda, kami berenang sekitar satu jam, setelah puas berenang, kami bertiga naik ke atas pematang sawah, hendak mengambil baju dan celana kami masing-masing, namun “...Oh My Ghost....” Eki yang pertama kali melihat kalau baju dan celana sudah tidak ada pada tempatnya, sementara kami bertiga dalam keadaan telanjang bulat, rumah kami jauh dari kolam ikan itu, kalau berjalan cepat lebih dari satu jam perjalanan, lokasi kolam di belakang Gedung LEN di Jl. Soekarno Hatta (by pass) sedangkan rumah kami bertiga di Jl. Ancol Timur, jarak yang jauh apabila harus ditempuh dengan berjalan kaki terlebih dalam keadaan telanjang seperti ini.

Kami bertiga baru sadar, rupanya si pemilik kolam, Pak Raden diam-diam mengambil semua pakaian kami, pantas saja saat berjalan Pak Raden tidak sedikitpun terlihat marah, tidak seperti biasanya, berteriak-teriak sambil mengejar dan menghalau kami, rupanya Pak Raden punya trik baru, membalas kelakuan kami yang mengganggu kolam ikannya dengan mengambil diam-diam pakaian kami, sedangkan kami bertiga tak satupun yang tahu dimana rumahnya Pak Raden.

Kami harus segera pulang, tapi “waduh” gimana ini, badan kami benar-benar polos, telanjang, untuk pulang, kami harus menyeberang jalan besar (by pass) melewati beberapa daerah seperti Jl. Kembar, Jl. Sriwijaya, Jl. Pasir Salam, Jl.Pasir Luyu sebelum sampai ke rumah kami di Jl. Ancol Timur, jalan-jalan yang harus kami lewati itu kawasan padat penduduk dengan rumah-rumah yang bisa dibilang mewah, serasa pengen nangis saat itu, kami bertiga kebingungan. Lalu Eki dan Boni berinisiatif mencari becak, kami akan pulang naik becak, biar nanti bayarnya sesudah sampai di rumah.

Dipinggiran jalan Soekarno Hatta, kami bertiga berlari sambil berteriak-teriak memanggil si abang becak yang lewat, namun tak satupun dari abang becak itu yang mau berhenti, mereka malah mengayuh becaknya lebih kencang, semua abang becak pasti mengira kami ini remaja-remaja gila atau stress, karena keadaan kami yang telanjang. Lebih dari 15 menit kami berada dipinggiran jalan dalam keadaan telanjang, sampai akhirnya “...yess...” kami melihat ada becak sedang berhenti, langsung kami hampiri, saya yang pertama naik becak itu, disusul Eki dan Boni naik kemudian. Si abang becak yang sudah lumayan tua awalnya agak kaget juga melihat kami, tapi setelah saya terangkan panjang lebar, akhirnya dia mau juga mengantar kami pulang, supaya tidak terlalu malu, depan becak kami tutup pake plastik khusus yang biasa digunakan penumpang saat hujan turun, lagi pula saat itu bonie lah yang paling depan, hehehe... karena Bonnie naik belakangan.

Tujuan kami pulang ke rumah Eki, setelah sampai di rumah Eki... haaaahhhh... ploo0oong sudah rasanya. Saya dan Boni meminjam pakaian Eki, dan Eki juga yang membayar ongkos becaknya.

Sebuah pengalaman lucu yang memalukan dan tidak mungkin bisa saya lupakan seumur hidup saya, kejadian itu adalah saat-saat terakhir kami main disawah, saat-saat terakhir kami mencari ikan dan belut, terakhir kalinya kami berenang di kolam ikan milik Pak Raden, sekarang ini sawah, kolam ikan, parit, kebun jagung sudah berubah menjadi komplek-komplek perumahan elite.

Sebuah cerita yang saya dedikasikan untuk sahabat saya Eki (alm.) dan boni yang entah dimana sekarang dia tinggal (kabar terakhir Boni pindah ke Jakarta).

2 komentar:

  1. sawah,sungai&pohon...knangan indah masa kecil yg tak terlupakan!
    sekarang semua sawah tempat loe bermain dah jd kawasan industri/perumahan yah?

    BalasHapus
  2. sekarang memang semua sawah dan kolamnya sudah berubah jadi komplek perumahan mewah, kalau kita mau main ke sawah paling yang tersisa hanya di kabupaten Bandung saja.

    BalasHapus