Jarak
dari Bandung sekitar 20 km ke arah utara, tetapi sudah hampir 15 tahun saya
tidak berkunjung ke Tangkuban Perahu, bukan karena tidak ada waktu atau
famornya yang sudah turun, tetapi akhir-akhir ini di Bandung banyak bermunculan
tempat-tempat wisata baru yang sangat menarik dengan berbagai macam konsep, hingga
banyak sekali pilihan untuk kita pergi berwisata.
Saya jadi
teringat pengalaman buruk 15 tahun yang lalu, ketika saya mengunjungi Tangkuban
Perahu bersama rekan saya seorang bule dari Itali, kami berdua kesana hanya
sekedar ingin jalan-jalan dan foto-foto saja, dari awal kami berdua tiba di
lokasi, kami benar-benar mendapatkan sambutan yang membuat kami tidak nyaman,
dari mulai harga ticket yang dibedakan, khusus untuk pengunjung manca negara
harga ticket dibedakan menjadi lebih mahal, begitu juga ketika kami berdua
makan makanan yang ragam dan rasanya sangat standard, tiba-tiba kami “digetok”
harga yang super zuper mahal, padahal
makanan yang kami makan sangat alakadarnya, lalu kamipun melihat-lihat cendera
mata yang dijual disana, mungkin karena rekan yang saya bawa itu orang bule,
semua pedagang cendera mata yang kami datangi berlomba-lomba menaikan harga
jual barang hingga membumbung tinggi. Saya gak bisa mengerti apa yang ada
dipikiran mereka itu, tidakah mereka sadar dalam hal jual beli haruslah saling
meng-enakan kedua belah pihak, baik penjual maupun pembeli, tidaklah dikatakan
halal rejeki yang didapatkan seorang penjual apabila si pembeli merasa tertipu
dan kecewa.
Tidak
sampai disitu pengalaman buruk kami berdua, saat kami hendak menuruni Kawah
Domas, kamipun dicegat oleh Local Guide (Pemandu Wisata Setempat), dengan
congkaknya dia menghalangi jalan kami, lalu dengan kasar dia menyuruh kami
untuk kembali, alasannya orang asing dilarang mengunjungi Kawah Domas tanpa
didampingi pemandu wisata setempat, dan untuk menggunakan jasa pemandu tsb,
kami diharuskan membayar biaya Rp. 30,000, saat itu kami benar-benar heran
dengan aturan tsb, bagaimana bisa pemandu wisata itu mendampingi perjalanan kami
sedangkan bahasa inggris mereka sangat “blepotan”, dari perilaku dan cara
bicaranya jelas-jelas terlihat kalau para pemandu wisata setempat bukanlah
orang terlatih dan terpelajar. Sungguh sangat disesalkan.
Tetapi
semua itu adalah pengalaman buruk saya 15 tahun yang lalu.
Saya
sering kali berwisata ke berbagai negara, dan perilaku diskriminatif tidak
pernah saya alami di luar negeri, pemerintah dan penggiat wisata di negara lain
sangat menghormati dan menghargai para wisatawan asing yang berkunjung ke
negaranya, tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun juga.
15 tahun
sudah berlalu, Masih dalam rangka menghabiskan liburan lebaran, saya sengaja kembali
mengunjungi Tangkuban Perahu, suasananya masih sama seperti dulu, tidak ada
perubahan yang signifikan, warung-warung nasi dan penjual cendera mata masih
tetap berjejer di tempat yang sama, begitupun tempat parkir mobil, pendagang
asongan yang menjual strowberry dan arbey, dan fasilitas lainnya tidak begitu
banyak perubahan.
Tetapi
ada satu hal yang sungguh membuat saya merasa geli, disana ada lokasi baru yang
membuat saya penasaran ingin mengunjungi, terdapat panah penunjuk arah ke
sebuah “Air Keramat namanya Cikahuripan” dan sebuah “Goa”, saya benar-benar
penasaran ingin melihat lokasi tsb, karena seingat saya 15 tahun yang lalu
ketika saya berkunjung ke Tangkuban Perahu, lokasi tsb tidak ada.
Lalu
sayapun berjalan mengikuti panah penunjuk arah, jaraknya tidak terlalu jauh
tetapi menanjak. Sesampai disana saya pun tertawa “ckakakakkkkk...” geli
bercampur kaget “Astaghfirulloh...” penipuan apa lagi ini, disana saya lihat
ada kamar mandi kecil, kotor dan kumuh, di dalamnya mengalir air gunung melalui
pancuran, kamar mandi yang kondisinya sama persis seperti kamar mandi yang
terdapat di perkampungan terpencil atau desa tertinggal, di dinding kamar mandi
itu tertulis “Air Keramat Cikahuripan”, pengunjung diwajibkan membayar Rp.
1,000 – 2,000 untuk tiap orangnya yang ingin menggunakan kamar mandi kumuh
dengan tipuan air keramatnya.
Tak hanya
kamar mandi kumuh saja yang membuat saya terpingkal-pingkal dan kaget,
disamping kamar mandi itu terdapat sebuah “goa” dengan panjang tak lebih dari
25 meter saja, biar terkesan agak seram dan juga keramat, didalam goa dibakar
kemenyan.... huahahaha... hihihi..... penipuan
kuno berbau syirik.
Lucu
sekali tingkah manusia itu, hanya karena ingin mendapatkan uang, lalu dicarilah
akal dengan berbagai cara termasuk mengkeramatkan kamar mandi kumuh dan Goa
buatan yang pengap dan kotor.
Kecewa dengan
“Air Keramat dan Goa kotor” saya bergegas turun dan menuju Kawah Domas,
lagi-lagi saya dicegat Pemandu Wisata setempat, masih dengan lagaknya yang “polontong
dan bahasa yang teu mernah” dia bilang bahwa wisatawan lokal diharuskan
membayar Rp. 150,000 dan wisatawan manca negara diharuskan membayar Rp. 300,000
untuk membayar jasa pemandu, setiap pengunjung yang akan menuruni Kawah Domas diwajibkan
membayar jasa pemandu wisata setempat dengan alasan biar tidak kesasar.....
halahhhh..... alasan yang sangat mengada-ngada. Ternyata 15 tahun berlalu
Wisata Gunung Tangkuban Perahu tidak ada kemajuan, pungli masih berlaku
disana-sini dan warung-warung makanan dengan menu yang alakadarnya masih
menerapkan harga selangit. Semua itu didukung oleh pengelola setempat.
Kalau tempat wisata yg berada dikawasan perum perhutani kita kena dua kali retribusi, pertama karcis masuk&parkir yg dipunggut oleh perhutani lalu karcis masuk&parkir yg dipunggut oleh pengelola..lucunya kadang ditempat parkir kita sering dimintain biaya lg. Kadang prilaku mereka bikin kita enggan untuk kembali lagi.
BalasHapusbener banget ! contoh nyatanya di Kawah Putih - Ciwedey, setiap mobil yang dibawa naik keatas dikenai extra chrages Rp. 150,000... keterlaluan banget, mana bisa pariwisata di Jabar bisa maju kalau banyak pungutan sana sini
BalasHapusBanyak penipuan di kawah domas, kapok kesitu lagi..mulai dari diwajibkan memakai guide padahal track jelasss banget, ga mungkin kesasar, informasi yg tidak akurat. Perlu pendisiplinan, gimana mau maju kalau mentalnya masih seperti ini.
BalasHapus