Rencana menaiki Gunung Singa
muncul mendadak ketika kami semua ngobrol bareng bersama teman-teman saat
istirahat kerja, kami yang terbiasa menaklukan Gunung-gunung tinggi khususnya
di Pulau jawa dan terbiasa keluar masuk hutan, mengganggap bahwa pendakian ke
Gunung Singa adalah hal yang “cetek” hingga kami merasa tidak perlu melakukan
persiapan yang berlebihan.
Gunung Singa terletak di daerah Soreang, berdampingan dengan Gunung Sadu, sebetulnya Gunung Singa tidak tepat disebut Gunung, karena ukurannya yang relatif kecil, Gunung Singa lebih tepat disebut bukit, itu sebabnya kami merasa bahawa mendaki Gunung Singa bukanlah hal yang luar biasa, namun dengan begitu kami tetap harus berhati-hati, karena Gunung Singa mempunyai tingkat kecuraman yang cukup berbahaya, bentuknya yang mirip dengan Piramida (kerucut) merupakan tantangan tersendiri bagi kami.
Persiapan mendaki, di Mess yang kami anggap Markas |
Tidak ada peralatan berat yang
kami bawa, seperti Tenda, tikar, alat untuk memasak, lentera dll, karena niatan
kami hanya untuk mendaki, sesampai di puncak kami akan langsung turun kembali.
Bersama teman, sahabat dan adik kami Didin |
Istirahat kedua: di gubung lapuk ini kami berteduh |
Baru saja setengah perjalanan,
kami menemukan warung yang lumayan kumplit, disana kami membeli sedikit makanan
dan air mineral untuk perbekalan, istirahat hanya dilakukan 10 menit lalu kami
lanjutkan perjalanan, dan selama menuju lokasi Gunung Singa, kami melakukan
istirahat selama 2 kali, terakhir kami istirahat disebuah Gubuk lapuk yang sudah
lama ditinggalkan penghuninya.
Di kaki Gunung Singa |
Saya menengadahkan muka, memandang
keatas setelah kami tiba di kaki gunung, hmmm... boleh juga gunung ini didaki, lumayan curam meskipun gunungnya tidak
sebesar gunung-gunung yang telah kami daki sebelumnya.
Gunung Singa, adalah gunung yang
penuh dengan aura mistis, ada beberapa kelompok masyarakat yang rutin mendaki
gunung ini hanya untuk sekedar melakukan ritual, saya sama sekali tidak tahu
apa tujuan ritual yang mereka lakukan, yang jelas, jejak-jejak mereka bisa kami
temukan berupa sesajen.
Salah satu jalan setapak yang kami lalui, diantar lorong bambu yang unik |
Jalan yang cukup terjal dan menanjak |
Jalan setapak dan terus-terusan
menanjak ternyata cukup melelahkan juga, sesekali saya lihat teman-teman
menghela napas panjang dan mengeluarkan botol air mineralnya, kami juga harus
melewati belukar, dan lorong yang unik yang terbentuk dari rindangnya pohon
bambu, lorong dari pohon bambu itu bentuknya sangat unik hingga kami sempatkan untuk
berfoto, namun kami tetap saja waspada, karena diantara rindangnya pohon bambu
biasanya banyak terdapat ular pucuk (ular hijau) yang cukup berbisa.
Setelah pendakian yang melelahkan,
akhirnya sampai juga kami ke puncak Gunung Singa, wowww.. sangat menakjubkan
pemandangan di puncak gunung, kami bisa melihat hamparan pesawahan, rumah-rumah
kecil di perkampungan sekitar, dan kearah utara, kamipun bisa melihat Kota
Bandung yang megah, sayang pemandangan itu kami dapatkan di siang hari. Seandainya
saja kami membawa tenda dan bermalam, mungkin kamipun bisa melihat lampu-lampu
bertebaran di setiap kawasan yang kami lihat.
Pemandangan di atas gunung sangat
indah dan menakjubkan, hingga teman-teman bergantian mencoba melihatnya menggunakan
Kecker/teropong yang sengaja saya bawa dari rumah.
Tepat pkl 12 siang, matahari
terasa terik sekali menyengat, namun hawa sejuk pegunungan mampu menghalau rasa
panas yang kami rasakan, dan diatas puncak itulah saya baru sadar mengapa
gunung ini dinamakan Gunung Singa, ternyata di puncak gunung kami bisa melihat
batu besar yang bentuknya mirip sekali dengan kepala Singa. Sesekali saya
melihat sekelompok monyet betengger di atas batu yang mirip kepala singa itu.
Sungguh indah pemandangan saat itu, sebuah mahakarya Sangat Pencipta yang sayang
untuk dilewatkan begitu saja.
Lelah yang kami rasakan menuntun
kami untuk membuka sedikit perbekalan
yang kami bawa, diatas puncak gunung yang bentuknya kerucut, diatara perpaduan
teriknya matahari dan sejuknya hawa pegunungan, diatas padang rumput kami makan
siang bersama, diiringi pentikan dari 2 buah gitar yang sengaja kami bawa, benar-benar
sebuah unforgetable moment. Kami merasa dekat satu sama lain saat itu, “bila
ada istilah cinta sehidup semati, bagi kami persahabatan kami bersama
teman-teman adalah dari hidup sampai mati”.
Kami mengatur rencana, melakukan
perjalan yang melelahkan, mendaki gunung yang curam rasanya setimpal dengan
pemandangan yang kami dapatkan disana, perjalanan dan kebersamaan kami adalah
sebuah nilai yang tak ternilai.
Idan, Aang, Ali, Didin, Jajang,
wahdiat, Yadi, Irman, dan sahabat-sahabat lain yang ikut mendaki Gunung Singa,
tulisan ini saya dedikasikan untuk kalian, sebagai pengingat bahwa dulu kita
pernah manis bersama.
Like this... :)
BalasHapusmantaaap Gunung Singa memang keren walaupun ketingginya tidak terlalu tinggi
BalasHapus