Please ENJOY

Sabtu, 12 Januari 2013

Mengkonsumsi Asumsi




Dalam sebuah acara kumpul-kumpul dengan teman-teman lama atau dengan saudara-saudara yang lama gak jumpa terkadang pertanyaan sering terlontar kearah saya, pertanyaan yang sama dan diulang-ulang dari tahun ketahun, lalu sayapun menjawabnya dengan jawaban yang sama pula dari tahun-tahun sebelumnya, karena memang hanya itu jawabannya.

Pertanyaan biasanya seputar masalah-masal pribadi, dan mereka seolah tidak peduli bahwa pertanyaan yang terlontar tanpa kendali, sering melabrak batas-batas privasi saya, membuat tidak nyaman, atau melukai perasaan saya.

Pertanyaan yang sering terlontar biasanya seputar pernikahan, “sudah menikah belum?”, kalau saya jawab belum lalu disusul dengan pertanyaan lanjutan “ kenapa belum, nunggu apa?”.... tetapi kalau jawaban yang saya berikan “sudah”, pertanyaan ternyata tidak berhenti sampai disitu, tetapi masih ada pertanyaan lanjutan berikutnya, “oh....., sudah punya anak berapa”?, kalau jawaban saya belum punya anak, biasanya mereka bertanya lagi “mengapa belum punya anak”? tetapi kalau jawaban saya sudah punya anak satu, merekapun mengejar saya dengan pertanyaan lanjutan yang lebih mendalam, “mengapa cuma satu? sudah umur berapa anaknya?... dan lain-lain,...dan lain lain.... pertanyaan-pertanyaan yang sangat dangkal dan tidak penting untuk mereka.

Pertanyaanpun tidak hanya seputar status pernikahan, anak, jumlah anak, tetapi ke hal lain yang juga masih dalam kawasan privasi saya, “bekerja dimana?, sebagai apa? Dan pertanyaan terparah “berapa gajinya?” bagi saya gaji, pendapatan atau penghasilan itu sama dengan “aurat” jadi tidak boleh orang lain sampai tahu, dan rasanya tidak sopan bila ada orang lain meskipun dia orang terdekat kita yang ingin mencoba menyingkap “aurat” kita.

Pertanyaan yang sama dan terus dilontarkan berulang-ulang juga seputar kepemilikan, misalnya rumah yang saya tempati itu milik saya pribadi, harta gono gini, atau warisan orang tua, atau mungkin rumah kontrakan..”hmmmm...” apapun status rumah yang sekarang saya tempati itu bukanlah urusan kalian, kalau ingin bertamu yah silahkan tapi tidaklah harus tahu status rumah yang sedang saya tempati, karena kalau kalian bertamu tentunya ingin bertemu dengan tuan rumah bukan untuk mengetahui status kepemilikan rumahnya.

Pertanyaan-pertanyaan yang “tidak cerdas” juga sering terlontar dari mulut teman-teman, misalnya seputar harga, “berapa harga kendaraan yang saya pakai, cash atau credit kah?, beli baru atau bekas? Ataupun pertanyaan mengenai umur, mengapa harus tahu umur seseorang, apakah itu penting dalam pergaulan?

Saya adalah type orang yang tampil apa adanya, seorang teman bilang bahwa saya itu ibarat buku yang terbuka hingga mudah dibaca, well, it’s Okey...it’s me and you can judge me as long as you like but I still have private area that nobody will I let to enter in.... 

Pertanyaan menunjukan kwalitas si penanya, maka hati-hatilah saat kita melontarkan pertanyaan, karena dengan pertanyaan itu orang akan menilai siapa kita, apa kapasitas kita, dan seberapa dalam kemengertian kita terhadap sebuah permasalahan yang sedang menjadi topik bahasan.

Ketersinggungan atau ketidaknyamanan seseorang bisa saja akibat pertanyaan yang diterimanya, dan tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban.

Banyak hal yang membuat saya enggan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menurut saya reseh, biasanya karena: petanyaan itu sifatnya terlalu pribadi, pertanyaan yang berulang-ulang padahal dulu pernah saya jawab, pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya tidak nyaman, dan pertanyaan-pertanyaan yang menurut saya tidak sesuai dengan kapasitas si penanya.

Memang susah apabila kita sering berinteraksi dengan orang-orang yang beda idealisme dengan kita, selalu saja ada gesekan kecil yang terkadang menjadi besar.

Pada saat saya memilih untuk tidak memberi jawaban atas berbagai pertanyaan, pada saat saya tidak hadir dalam sebuah pertemuan atau kumpulan, atau pada saat saya diam karena tidak ingin berbagi hal-hal yang sifatnya pribadi, muculah berbagai macam asumsi.

Mereka biasanya menilai saya dari kesimpulan yang mereka buat sendiri tanpa didukung oleh fakta-fakta yang sesungguhnya. 

Saat saya membeli rumah baru dan merenovasinya dengan biaya yang cukup besar (tentunya untuk ukuran saya), lalu muncul berbagai macam reaksi dari teman-teman terdekat saya, ada yang kagum lalu mengucapkan selamat, tetapi ada juga reaksi negatif yang memerahkan kuping saya, sialnya lagi reaksi negatif itu jumlahnya jauh lebih banyak, mereka melihat, mendengar dan menarik kesimpulan tentang rumah yang baru saya beli dan saya renovasi dengan asumsi-asumsi yang dangkal tanpa dikaji lebih dalam terlebih dulu, mereka menarik kesimpulan bahwa rumah yang saya beli itu dari hasil “korupsi”, dengan asumsi bahwa saya dan mereka bekerja di perusahaan yang sama, dengan posisi yang sama dan gaji yang tidak jauh berbeda, mereka berasumsi kalau mereka tidak mampu membeli rumah mengapa saya mampu? Mereka sama sekali tidak tahu kalau saya punya pekerjaan sampingan di luar pekerjaan pokok saya, mereka sama sekali tidak tahu kalau saya berupaya dengan keras melebihi upaya yang mereka lakukan, dan karena apa yang saya lakukan berbeda dengan apa yang mereka lakukan, pastilah hasil pencapaiannyapun akan berbeda pula.

Bagi saya rejeki bukanlah matematika atau exact science, dimana 1 + 1 = 2, rejeki adalah sesuatu yang gaib, yang datang dan pergi tanpa bisa kita ketahui atau kita prediksi, seseorang yang gaji bulanannya kecil, belum tentu hidupnya akan pas-pasan, begitu juga sebaliknya, seseorang yang gajinya besar belum tentu juga hidupnya akan sejahtera. Tuhan punya cara tersendiri untuk memberikan tambahan rejeki kepada orang yang gajinya pas-pasan, misalnya dengan mendatangkan bisnis sampingan yang hasilnya lumayan besar, dan Tuhan juga punya cara tersendiri untuk membuat seseorang yang gajinya besar untuk selalu tidak mampu menutupi kebutuhan hidupnya, misalnya dengan cara memberikan penyakit yang tak kunjung sembuh hingga harus mengeluarkan uang untuk biaya rumah sakit, atau dengan memberikan musibah-musibah yang sering dalam kehidupannya.

Dalam sebuah acara pagelaran kabaret disebuah gedung pertunjukan di Bandung, saya diminta memerankan seorang tokoh banci, peran itu menuntut saya untuk mau mengenakan pakaian perempuan, memakai rambut palsu ala perempuan dan bermake up, well,.. I received the challenge and acted like a she male, pagelaran selesai namun cerita masih berbuntut panjang hingga pintu gedung pertunjukan ditutup, beberapa stage crews memberikan penilaian miring terhadap saya, mereka mengira bahwa dalam keseharian kehidupan saya sama persis dengan tokoh yang baru saja saya perankan, mengenakan pakaian perempuan dan bermake up, lebih parah lagi ada yang mengira saya mengalami sexual disorientation, pandangan-pandangan mereka terhadap saya kadang membuat saya emosi, tapi sering juga membuat saya geli hingga saya tertawa ha... ha... ha..., mereka menilai saya bukan berdasarkan fakta tetapi berdasarkan asumsi,... then they spread out their conclusion to the public.

Alhamdulillah,.. hingga detik ini saya tetap menjadi diri saya sendiri, “saya tetap begini, walaupun orang lain begitu”

Mengkonsumsi asumsi orang lain dan terpaksa menjadi korban terus berlangsung dalam kehidupan saya, beberapa tahun yang lalu, saya mendapat ajakan untuk ketemuan disebuah resto di PVJ-Bandung, acara yang digagas dan disepakati bersama teman-teman sebenarnya bukanlah acara penting, ini hanya sekedar acara kumpul-kumpul biasa, melepas kangen karena sudah lama tidak bertemu sambil makan-makan. 

Tibalah “hari H” yang dijanjikan, saya sudah siap-siap untuk berangkat, namun tiba-tiba masalah datang, kendaraan mendadak mogok gak bisa distater, saya yang tidak mengerti tentang mesin kendaraan mencoba mengotak atik sebisanya, namun gak berhasil akhirnya saya pergi ke bengkel untuk menservicenya, teman-teman sudah menunggu, tetapi saya tidak bisa ke lokasi yang dijanjikan karena jarak antara PVJ dengan rumah saya di cibiru lumayan jauh dan macet, gak realistis kalau saya harus naik angkot, akhirnya acara berlangsung tanpa kehadiran saya, saya kecewa dengan keadaan ini, teman-teman juga kecewa dengan ketidak hadiran saya, akhirnya kesalahfahaman timbul, teman-teman mulai mengasumsikan ketidakhadiran saya itu karena sengaja ingin menghindari acara kumpul-kumpul, sedangkan saya yang dari awal sudah kesal karena mogoknya kendaraan tidak terima dengan tuduhan itu. 

Mulailah terjadi gesekan yang berujung pertengkaran, kekecewaan teman-teman dilampiaskan tanpa kendali dengan menghujat saya di media sosial, padahal media sosial juga merupakan public area dimana semua orang bisa mengaksesnya, mereka sulit diberi pengertian dengan tuduhan-tuduhan negatif terhadap saya, semuanya berdasarkan asumsi yang mereka simpulkan sendiri, dan bukan berdasarkan fakta. 

Hanya karena salah mengasumsikan dalam mengambil sebuah kesimpulan, akhirnya kami memutuskan untuk tidak berteman lagi dan tidak saling berhubungan dengan cara apapun juga, hujatan yang mereka lakukan di media sosial sungguh melukai perasaan saya.

Sering kali orang lain berfikiran negatif terhadap saya dan mengungkapkannya dengan leluasa tanpa pernah mau tahu bagaimana sakitnya perasaan saya, mereka menilai saya hanya berdasarkan asumsi yang mereka simpulkan sendiri, dan itu terus menerus berlangsung hingga sekarang, tetapi sayapun tidak pernah meluruskan jalan fikiran mereka untuk sekedar mengklarifikasi, karena bukan kafasitas saya untuk mengurusi jalan pikiran orang lain, saya tidak akan pernah peduli dengan apa yang orang lain pikirkan, karena apa yang ada di dalam pikiran orang lain itu bukan kekuasaan saya, saya hanya berkuasa terhadap pikiran saya sendiri.

Every time, every where somebody always hurts my soul, injures my feeling, and put me in uncomfortable zones but my heart is still OK.

4 komentar:

  1. halaaaahhhh....never feel bother by other people judge....
    be your self ajahhh...tanpa disadari orang itu memang akan selalu punya komentar terhadap orang lain baik itu komentar positif atau negatif...kebanyakan memang negatif karena sifat manusia kebanyakan iri dan tidak tahan melihat keberhasilan orang lain atau nilai lebih orang lain...

    Not only you Ga, aq juga sering merasakan hal yang sama, ketika aq bisa membeli sesuatu yang menurut org lain gak mungkin bisa aq beli mereka smua berkata2 yg aneh dan cukup membuat emosi ini naik dan memuncak, tapi satu hal yang pasti sih, aq selalu berprinsip klo hidup aq bukan orang lain yang mengatur...dua hal dalam hidup ini yang harus dijadikan patokan adalah : TAKDIR hidup aq itu Tuhan yang atur karna dia yang menciptakan aq ke dunia ini dan NASIB hidup aq itu aq sndiri yang mengatur krn Tuhan menciptakan akal dan pikiran untuk mengubah NASIB kita didunia ini so aq tidak merasa bertanggung jawab apapun terhadap manusia lain dalam hidup aq...kecuali Tuhan...dan hanya Tuhan yang berhak menjugde kita karena DIA yang menciptakan kita bukan manusia...
    so just give em hell lah klo masih aja berkomentar yang aneh2..
    let haters keep yell at you but you keep moving until you reach something that they can't and by that time they will stop to talk and yell at you...

    BalasHapus
  2. That's the point "Hanya Tuhan yang berhak menjudge kita karena hanya Dia yang menciptakan kita, bukan manusia..."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biar sajalah mereka dengan asumsi-asumsinya dan kita dengan tetap menjadi diri sendiri, yang penting kita tdk melanggar hak-hak orang lain, easy going man......yang penting hidup tetap terjalani dengan baik...tetaplah berjalan sebagaimana mestinya hidup kita berjalan sesuai dengan jalur yg mesti kita tempuh....hanya satu pesanku perbanyaklah minta kepada Allah saja dan curhatlah kepada Allah semata sebab bicara kepada manusia lebih banyak menyakitkan.....sekali lagi Jangan Pernah Tinggalkan Allah dan Libatkanlah Allah dlm setiap sendi kehidupanmu...Insya Allah semuanya akan baik-baik saja.....keep smile n keep spirit OK

      Hapus
  3. Thanks banget Kak Endang atas advice dan suggest-nya, U're very wise

    BalasHapus