Domba-domba itu masih saja
berkumpul tenang tak menyadari bahwa satu persatu anggota dari kelompok mereka
berkurang tiap harinya, tak menyadari bahwa diantara ratusan pasang mata domba
yang polos dan lugu, ada satu pasang mata yang tajam mengancam siapa saja yang
lengah, lemah dan lelah, sepasang mata dari serigala yang mengenakan mantel
yang sama dengan mereka.
Lain ancaman terhadap para domba, lain pula ancaman terhadap manusia, karena serigala-serigala itu bukan hanya pandai menyamar dengan menggunakan mantel tebal bulu domba yang hangat, namun pandai pula membungkus tubuhnya dengan kulit manusia yang halus dan mulus, dalam pengembaraannya untuk meraih kehendak, serigala-serigala itu berhasil masuk ke area public, kancah politik, dunia usaha, bahkan ke tempat-tempat ibadah.
Saya jadi teringat pada seekor
serigala yang menjadikan kantor sebagai tempat untuk mencari muka, mengelabui
kita dengan tutur katanya yang santun dan pembawaannya yang tenang, serigala
itu mampu membius karyawan lain yang tak menyadari bahwa dibelakang dia sibuk
kasak kusuk menghasut atasan seolah
hanya dialah sumber dari semua kemajuan, kerjanya sedikit tapi ingin kelihatan,
mengaku “Ya” untuk sebuah keberhasilan dan menjadikan sebuah kegagalan yang dia
ciptakan menjadi kegagalan yang tak bertuan.
Licinnya seekor serigala mampu
mengelabui wartawan ketika serigala itu menutupi lehernya dengan sorban, memanipulasi
tutur katanya dengan ayat-ayat suci, dan mengemas ketidak setiaannya terhadap
istri sebagai suatu sunah, serigala yang mampu membangun tempat ibadah menjadi
kerajaan besar untuk bertahta, sungguh sebuah konspirasi yang sempurna, tapi
para jemaah bukanlah kawanan domba yang polos dan lugu, para jemaah adalah para
perempuan dan ibu-ibu muda yang berpikir kritis yang mampu mendeteksi keberadaan
serigala diantara para domba, hingga bergegaslah para jemaah itu meninggalkan
tempat ibadahnya, meninggalkan serigala licin dengan tahtanya menuju tempat
ibadah lain.
Serigala bukanlah binatang lemah,
serigala adalah binatang kuat dengan segala bentuk kekuasaannya, mungkin kita
masih ingat ketika seekor serigala berusaha menggunakan pesonanya untuk meraih
suara dalam sebuah election, politik pencitraan yang dia tebarkan mampu
menjadikannya seorang pemimpin, namun pesonanya segera luntur ketika kita
menyadari banyak sekali kebijakan-kebijakan yang dia buat justru merugikan
masyarakat. Serigala memang tak layak jadi pemimpin karena dia bukan manusia.
Lalu siapakah kita? Apakah kita
ini salah satu dari kawanan domba yang polos dan lugu atau kita justru seekor
serigala yang licin dan licik?
0 komentar:
Posting Komentar