Teropong Zeiss |
Seorang brillian yang memiliki dedikasi, integrasi serta
kepribadian yang kuat. Datang ke Indonesia pada tahun 1887 berhasil mengelola
dan mengembangkan Perkebunan Teh Malabar – Pangalengan pada tahun 1896-1928.
Dikenal juga melalui sumbangsih serta peranan atas
karya-karya antara lain:
-Technische Hogeschool, saat ini dikenal sebagai Institut
Teknologi Bandung
-societeit Concordia,
saat ini dikenal sebagai Gedung Merdeka Bandung, tempat
diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika
-Observatorium Boscha, gedung peneropong bintang yang
memiliki lensa terbesar di dunia saat itu (1923-1926)
-Dan beberapa karya-karya besar lainnya.
Peristirahatannya yang terakhir disini adalah tempat
beliau bertetirah disela-sela kesibukannya sehari-hari.
Itulah sekelumit tulisan yang sempat saya baca, tertulis
diatas sebuah tugu kecil, mungkin bisa juga disebut prasasti, terletak tepat di
depan makan Bosscha, diantara bunga-bunga dalam taman kecil yang tertata rapih
dan terlihat resik.
Sebenarnya sudah lama sekali saya mendengar nama Bosscha yang
untuk masyarakat parahiyangan sudah tidak asing lagi, Bosscha sangat terkenal
karena sumbangsihnya terhadap masyarakat Jawa Barat yang hingga kini masih bisa
kita rasakan manfaatnya.
Penasaran dengan salah satu peninggalannya yaitu
Observatorium, sayapun menyempatkan diri mengunjungi Observatorium tsb,
lokasinya tidak begitu jauh dari Bandung, dan untuk mencarinyapun sangat mudah,
karena masyarakat sekitar tahu persis lokasi yang akan kami tuju. Saat itu hari
Sabtu 22 Agustus 2015, kami merencanakan pergi ke Observatorium Bosscha di pagi
hari, tujuannya agar tidak terlalu panas dan masih punya banyak kesempatan
apabila setelahnya kami ingin pergi ke tempat lain.
Setelah sampai tujuan dan membeli ticket masuk Rp. 15,000
kamipun berkesempatan masuk kedalam semacam kubah besar tempat dimana teropong
Zeiss berada, sebuah teropong yang dulu pernah menjadi teropong terbesar di
dunia pada masanya. Meskipun ada seorang pemandu yang menerangkan tentang asal
usul teropong Zeiss dan cara mengoperasikannya, namun kami tidak berkesempatan
untuk menggunakan teropong tsb, karena teropong hanya bisa digunakan pada malam
hari, dan pengoperasiannya tidak terbuka untuk umum, teropong hanya digunakan
untuk kepentingan pendidikan atau sebuah penelitian, terutama yang dilakukan
oleh para mahasiswa yang berasal dari ITB, karena Observatorium Bosscha memang
milik ITB.
Tapi sedikitpun kami tidak merasa kecewa, paling tidak kami
pernah melihat teropong besar, mendengarkan cara pengoperasian dan kegunaannya,
dan tahu siapa yang pertama kali mencetuskan pengadaan teropong bintang yang
sengaja didatangkan dari Jerman. Observatorium Bosscha satu-satunya di
Indonesia, jadi wajar bila kami merasa bangga karena pernah mengunjunginya,
apalagi lokasinya di daerah Lembang tidak begitu jauh dari tempat tinggal kami.
Makam BOSSCHA |
Bicara mengenai Bosscha rasanya belumlah afdol apabila kita
tidak mengunjungi makamnya, maka satu bulan setelah kunjungan kami ke
Observatorium Bosscha di Lembang, kamipun menyempatkan diri untuk mengunjungi
makamnya di Perkebunan Teh Malabar di Pangalengan, sebuah makan yang berada di
antara perkebunan teh yang sejuk dan indah, sebuah makam yang dikelilingi oleh
resiknya taman yang tertata dan terawat dengan baik, sayapun betah berlama-lama
berada di pemakaman itu.
Perkebunan Teh Malabar pertama kali dibuka sekitar tahun
1890an dan berkembang pesat setelan Bosscha bekerja disana sebagai
administratur perkebunan pada tahun 1896. Dan pada tahun-tahun berikutnya
seiring dengan perkembangan perkebunan yang pesat, Bosscha pun mendirikan 2
pabrik pengolahan teh disana, hingga akhirnya Bosscha menjadi raja teh di
daerah priangan.
Namun kecelakaan terjadi, ketika kuda yang ditumpanginya
terjerembab dan jatuh, Bosscha terluka dan lukanya terinpeksi kuman tetanus,
hingga akhirnya Bosscha meninggal karena penyakit tetanus di usia 63 tahun, dan
dimakamkan di tengah-tengah perkebunan teh, sesuai amanatnya
.
Salah satu view Perkebunan Teh Malabar |
Perkebunan Teh Malabar selain sebagai perkebunan yang
hasilnya untuk di ekspor dan konsumsi lokal, juga dipakai sebagai tempat
wisata, karena keindahan alamnya dengan hawa sejuk khas pegunungan, disana
terdapat bangunan-bangunan tempo dulu yang masih terjaga dan sekarang digunakan
sebagai villa-villa yang bisa kita sewa.
Untuk berwisata memasuki kebun tempat pembibitan teh dan
makam Bosscha kita hanya dipungut biaya Rp. 5,000,- sebagai ticket masuk, biaya
yang sangat murah.
Teawalk... salah satu aktifitas yang bisa kita lakukan di Perkebunan Teh Malabar |
Apabila kita merasa jenuh dengan suasana perkotaan, tidak ada
salahnya kita menyempatkan diri untuk berwisata murah meriah ke Perkebunan Teh
Malabar yang luasnya 2,022 hektar, sebuah area yang cukup luas untuk kita
jelajahi, sambil menghirup udara segar, jauh dari asap kendaraan dan bisingnya
suasana perkotaan.
0 komentar:
Posting Komentar