Berangkat dari pusat kota Bandung
tepat pkl 7 pagi, perjalanan menggunakan motor cukup melelahkan namun sangat
menyenangkan, butuh waktu ± 3.5 jam, tujuan saya adalah Kampung Naga, salah
satu dari sekian banyak Desa Adat di Jawa Barat, Kampung Naga tepatnya di Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasik Malaya.
Menjadi objek kajian Antropologi
untuk mempelajari kehidupan masyarakat sunda asli, yang hidup secara alami pada
masa transisi dari pengaruh hindu ke pengaruh islam di Jawa Barat, itu alasan
mengapa Kampung Naga banyak dikunjungi para pelajar dan mahasiswa baik dari
dalam negeri maupun dari manca negara. Kita bisa belajar dari masyarakat
Kampung Naga, bagaimana caranya hidup selaras dengan alam, berguna untuk alam
dan memetik manfaat dari alam yang mereka diami tanpa sedikitpun merusaknya,
sebuah kearifan lokal yang patut untuk dilestarikan,tetapi kita agak sulit
untuk mempelajari sejarah kampung naga (asal muasalnya), karena tidak ada
satupun arsip sejarah mengenai kampung Naga yang tersisa setelah peristiwa
pembakaran Kampung Naga saat peristiwa DI/TII pimpinan Kartosoewiryo.
Lokasi Kampung Naga berada di
sebuah lembah yang amat subur, untuk mencapai Kampung Naga kita harus menuruni
tanggal berjumlah 439 anak tangga, dengan derajat kemiringan 400 ,
sebenarnya tidak terlalu melelahkan untuk menuruni satu demi satu anak tangga,
namun karena perjalanan saya berawal dari Bandung dan menggunakan motor, jadi
cukup untuk membuat lutut serasa mau copot.
Saat tiba di lokasi, saya melihat
ada beberapa bus pariwisata yang mengangkut anak sekolah dan mahasiswa, juga
beberapa motor yang terparkir rapi, untuk masuk ke lokasi Kampung Naga tidak
dipungut biaya alias gratis, kita hanya bayar parkir dengan nilai yang disesuaikan
dengan kendaraan yang kita gunakan.
Dari atas kita bisa melihat
rumah-rumah adat masyarakat Kampung Naga yang berbentuk rumah panggung dari
kayu dengan beratapkan injuk yang tahan hingga 40 tahun, lokasi kampung
disebuah lembah yang sangat subur, disebelah barat dibatasi oleh hutan larangan tempat para leluhur masyarakat kampung Naga dimakamkan, menurut salah satu
warga siapapun boleh memasuki hutan keramat tersebut asalkan sudah mendapatkan
ijin dari masyarakat setempat. Pernah suatu hari ada seorang pelajar yang nekat
memasuki hutan larang tsb, lalu kesasar di tengah hutan dan tidak bisa kembali,
pelajar tersebut baru bisa keluar dari hutan larang setelah masyarakat Kampung
Naga beramai-ramai menjeputnya kembali.
Disebelah selatan dibatasi oleh
sawah-sawah penduduk, saat kami kesana, sawah-sawah itu baru selesai dipanen,
hingga kami tidak dapat menikmati pemandangan indah menghuningnya padi-padi
yang ditanam secara organik.
Disebelah utara dan timur
dibatasi oleh Sungai Ciwulan yang debet airnya sedang surut, mungkin karena
kemarau yang cukup panjang, hingga di tengah sungai kita bisa melihat batu-batu
cadas yang mengering, saya sempat berfoto diantara hamparan cadas sungai
ciwulan.
Bangunan di kampung Naga
berjumlah 113 bangunan, terdiri dari 110 rumah, 1 mesjid, 1 rumah ageung
(semacam aula) dan satu lagi bangunan yang lebih kecil untuk menyimpan hasil
panen (lumbung padi). Ditengah-tengan kampung ada semacam lapangan yang biasa
digunakan untuk menjemur padi hasil panen, di pinggirnya terdapat beberapa
warung cendera mata hasil kerajinan masyarakat kampung.
Khusus untuk pengungjung yang
datang secara rombongan, biasanya para pelajar dan mahasiswa disediakan pemandu
wisata lokal yang khusus menerangkan segala sesuatu yang behubungan dengan
kehidupan masyarakat Kampung Naga, kalau sedang mujur bisa juga mencicipi
makanan khas kampung naga yang sederahana namun bercitarasa orisinil.
Kampung Naga akan selalu ada dan
tetap ada selama masyarakatnya masih memegang teguh adat dan budaya yang mereka
yakini dan selama para pengunjung tidak membawa pengaruh buruk dari luar yang
akan memporakporandakan tatanan yang sudah lama ada.
0 komentar:
Posting Komentar