Sungguh saya tidak menyangka
perjalanan yang saya harapkan penuh suka cita, penuh tawa dan canda, akan
berakhir duka, mengawali perjalanan dengan setumpuk harapan akhirnya berbuah
kehampaan, jauh asap dari panggang, benar-benar hampa......
Hari minggu saat aktifitas kerja
libur, sengaja saya luangkan waktu, untuk bertemu teman lama yang tinggal di
daerah Majalaya, satu dari sekian Kabupaten di Bandung, bila tidak macet, jarak
tempuh hanya 1,5 jam dengan kendaraan Roda empat.
Entah mengapa tiba-tiba ada
perasaan ingin bertemu dengan Erwin, teman lama yang pertama kali saya kenal di
sebuah Instansi Pemerintaha di Bandung, Saya langsung akrab dan merasa cocok
untuk berteman dengannya, karena kami mempunyai banyak kesamaan, diantaranya
kesamaan profesi, kesamaan hobi, dan kesamaan pola pikir, saya mengenal Erwin
cukup lama, tepatnya di awal tahun ’96.
Satu tahun setelah saya menjalin
pertemanan, Erwin datang ke rumah mengantar surat undangan pernikahannya,
seperti biasa dia ngobrol hal-hal ringan, Erwinpun menanyakan kapan saya akan
menyusul? Dan saya jawab kalau saya mau fokus dulu ke study saya (karena saat
itu saya sedang kuliah sambil bekerja mengambil kelas karyawan). Saya lihat
mata Erwin berbinar-binar, saya yakin dia sedang berbahagia menghadapi
pernikahannya.
Saya sangat menyesal pada harinya
Erwin menggelar resepsi pernikahan, saya tidak sempat hadir, karena waktu itu
saya harus menghadri sebuah acara Forum Komunikasi Ekspor Se-priangan timur di
Ciamis, dan Erwinpun bisa mengerti, dua tahun kemudian, saya berkunjung ke
rumah Erwin di Majalaya dan memberikan sebuah bikisan kado saat putra
pertamanya lahir, anggaplah itu sebagai obat dari rasa kekecewaannya karena
saya tidak sempat menghadiri acara resepsi pernikahannya, untuk kedua kalinya
saya lihat mata Erwin berbinar-binar, dan untuk yang kedua kalinya pula saya
yakin kalau saat itu Erwin sedang berbahagia menyambut kelahiran putra
pertamanya.
Kesibukan masing-masing membuat
komunikasi kami terputus, sudah bertahun-tahun saya tidak bertemu Erwin, hingga
akhirnya saya menyempatkan diri untuk bertemu dengan Erwin, sesampainya di
Majalaya, saya lihat tidak ada perubahan dengan rumah Erwin, bentuk rumahnya
masih seperti 13 tahun yang lalu, kedatangan saya disambut kedua orang tuanya,
namun tidak tampak Erwin maupun istri dan anaknya. Saya menanyakan keberadaan
Erwin, karena tujuan saya kesana memang hanya untuk bertemu dia, namun tidak
ada jawaban dari mulut kedua orang tua Erwin maupun dari saudara-saudaranya.
Saya menjadi bingung sendiri, lalu tiba-tiba ibunya Erwin mengajak saya keluar
rumah menuju sebuah gudang di belakang, dulu gudang itu pernah dipakai untuk
menggiling padi/gabah hasil panen, namun sekarang gudang itu tak terpakai lagi,
dibiarkan kosong, gelap dan pengap.
Sesampai di gudang, saya sungguh
kaget melihat sosok kurus kering, dengan rambut panjang tak terurus, pakaian
yang dikenakannyapun sudah tidak layak pakai, sosok yang mekipun sudak jauh
berubah dari sebelumnya, namun tetap masih saya kenal,....“Ya Alloh karma apa
yang sedang kau timpakan terhadap temanku Erwin”.... ingin rasanya saya
menjerit melihat keadaan Erwin sekarang, dan yang lebih mengenaskan adalah kaki
kanan Erwin yang dipasang rantai dan diikatkan ke tiang penyangga langit-langit
gudang. Erwin hanya terduduk di lantai beralaskan tikar.
Erwin mengalami stress berat, dia
depresi dengan nasibnya yang terus menerus ditimpa kemalangan, Ibunya
menuturkan kalau keadaan ini berawal ketika tiba-tiba perusahaan textile tempat
Erwin bekerja mengalami kebangkrutan empat tahun yang lalu, sebenarnya Erwin
tidak terlalu dirugikan dengan kebangkrutan perusahaan tempatnya bekerja,
karena dia mendapatkan pesangon yang layak sesuai dengan jabatan dan masa
kerjanya.
Uang pesangon yang dia dapat dia
satukan dengan uang tabunganya selama ini, lalu dia belikan rumah yang
lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah orang tuanya, namun kesialan tidak
berhenti pada kehilangan pekerjaan tapi masih terus berlanjut, ternyata Erwin
membeli rumah dari seorang penipu, sertifikat yang dia miliki ternyata palsu,
Erwin kalah saat persidangan perdata di pengadilan, lalu pihak kejaksaan
menyita rumah yang baru dia beli untuk diserahkan kembali kepada pemiliknya
yang sah.
Dua kali Erwin mengalami benturan
keras dalam hidupnya, kegagalan membuat dia frustasi, sedangkan untuk bangkit
dan mendapatkan pekerjaan di tempat yang baru bukanlah hal yang mudah, sudah
beberapa kali surat lamaran dia kirimkan, namun tak satupun juga yang berhasil
membawa Erwin untuk merubah statusnya dari pengangguran karena PHK menjadi
seorang karyawan di sebuah perusahaan.
Ditegah keterpurukan ekonomi, dia
menutup diri, minder dalam pergaulan dan jiwanya menjadi tertutup, Erwin
berubah menjadi pendiam dan mudah tersinggung, saat keadaan terpuruk dan posisi
sedang berada dibawah, hidup terasa begitu sulit, dan apa yang dilakukan
sepertinya selalu salah dan sia-sia.
Ada pepatah yang mengatakan
“dibalik kesuksesan seorang pria pasti ada perempuan yang mendorongnya dari
belakang” namun pepatah ini tidak berlaku bagi Erwin dan keluarga kecilnya,
disaat dia terpuruk dan membutuhkan dorongan moril dari orang-orang terdekat,
sang istri yang seharusnya selalu mendampingi dan mendorongnya untuk bangkit,
ternyata memilih membawa anaknya kabur dengan laki-laki lain, mungkin istrinya
Erwin tidak tahan dengan keadaan ekonomi yang serba susah, atau mungkin dia
tidak tahan dengan perubahan sikap Erwin yang menjadi tertutup, pendiam, mudah
tersinggung dan pemarah, entahlah hanya mereka yang tahu dan merasakannya. Namun
apapun juga alasannya, tidaklah benar seorang istri membawa anaknya kabur
dengan laki-laki lain. Bukankah mereka terikat ikrar perkawinan untuk selalu
bersama dalam suka dan duka.
Erwin mengalami stress berat,
depresi yang akut karena terus menerus mengalami tekanan, kegagalan, dan
frustasi, hingga akhirnya dia mengidap skizofrenia , banyak faktor yang membuat
dia begitu, tetapi penyebab terbesarnya adalah kaburnya istri yang tak mau
setia mendampinginya di dalam keterpurukan.
Kekecewaan
Erwin adalah kekecewaan kedua orang tuanya, kekecewaan saudara-saudaranya, juga
kekecewaan teman-temannya, dan kekecewaan terbesar tertuju pada kaburnya
Istrinya Erwin yang tidak punya hati, yang terobsesi untuk hidup mapan bersama
laki-laki lain.
Banyak
orang yang menyayangkan kejadian ini, seorang istri kabur meninggalkan suami
yang sedang terpuruk, meskipun itu memang wajar, karena hidup seseorang
haruslah terus bergerak kearah kebaikan dan adanya peningkatan, namun wajar
bukan berarti benar, karena hidup penuh dengan norma-norma yang tidak boleh
dilanggar, juga ada sebuah ikrar perkawinan untuk selalu bersatu dalam suka dan
duka.
Sebenarnya
saat-saat sulit tidak mungkin datang selamanya, tetapi orang yang tangguh pasti
tahan lama untuk terus menjalaninya, namun Erwin dan keluarga kecilnya ternyata
belum cukup tangguh untuk menghadapi itu semua.
Kesetiaan
adalah hal yang paling hakiki bagi seorang perempuan, Perempuan yang tidak
punya hati, yang tega meninggalkan suaminya begitu saja walaupun dia sudah
menjadi seorang ibu, layak disebut setan..... (seperti apa yang dituturkan
orang tua, saudara-saudara, dan teman-teman dekat Erwin.... kepada saya)
0 komentar:
Posting Komentar