Jeritan perempuan sontak
membangunkan saya dari pulasnya tidur, dalam keadaan masih ngantuk saya
bergegas membuka pintu dan melihat keluar dari atas balkon, di ujung jalan
samar-sama saya lihat seorang laki-laki dengan brutal memukuli perempuan di depannya,
saya langsung turun dari atas balkon dan lari keluar hendak menolong perempuan
itu, tetapi setelah saya mendekat, si lelaki mengancam saya sambil mengarahkan
telunjuknya, untuk tidak ikut campur karena ini urusan rumah tangga, saya jadi
bingung dan mulai tersadar kalau mereka berdua memang suami istri yang tinggal diujung
jalan, saya hanya terpaku sambil berpikir apakah saya harus ikut campur urusan
rumah tangga orang lain dengan menolong perempuan itu, atau saya biarkan saja
penganiaan itu terjadi di depan mata saya. Untungnya tiba-tiba tetangga
lainnyapun berhamburan keluar, termasuk Pak RT, lalu mereka mulai melerai,
hingga sayapun bisa berlalu meninggalkan mereka dan masuk kembali ke rumah,
saya lihat jam di dinding, hmmm…. Waktu menunjukan pukul 2:30 dini hari.
Saya tidak dapat melanjutkan
tidur, entah kenapa jeritan perempuan itu terus saja terngiang-ngiang di telinga,
tidak tega rasanya melihat seorang perempuan muda dianiaya suaminya sendiri, di
pinggir jalan tepat di depan rumah yang mereka tinggali, saya memang tidak
harus terus menerus memikirkan nasib perempuan itu, karena dia bukan tanggung
jawab saya, saya cuma merasa aneh, dimanakah gerangan cinta diantara mereka
yang dulu pernah ada? Dan mengapa perempuan itu tetap bertahan walaupun hidup
penuh dengan penganiayaan, apakah dia beharap suaminya akan berubah menjadi
pribadi yang super baik, ataukah dia bertahan demi kedua anak-anaknya? Karena
kebanyakan orang tua selalu berpikir bahwa seandainya terjadi perceraian
anak-anaklah yang akan menjadi korban, bukankah sekarangpun saat kedua orang
tuanya belum bercerai anak-anak sudah menjadi korban? Pastinya sangat tidak
baik terhadap perkembangan mental anak-anak apabila dibesarkan di tengah-tengah
pertikaian orang tuanya. Anak-anak tidak akan pernah mengerti mengapa orang
tuanya bertengkar.
Ternyata kesenjangan bukan hanya
pada bidang sosial, ekonomi atau pendidikan saja, tetapi kesenjangan bisa saja
terjadi pada sebuah karakteristik atau sifat dua individu dalam satu lingkungan
terdekat yaitu keluarga.
Begitu juga dalam lingkungan sosial
pertemanan, sering saya lihat banyak orang yang tanpa sadar telah diperdaya
temannya sendiri, ada beberapa teman yang sengaja mendekat hanya untuk
mengambil sesuatu dari kita, sama sekali tidak ada yang namanya prinsip take
and give, yang ada hanyalah berusaha menjadi benalu dalam kehidupan orang lain,
dan berusaha secepat mungkin menjauh setelah apa yang diharapkannya sudah habis
dia dapatkan.
Seorang teman yang selama ini
kita tolong dan menggantungkan hidupnya terhadap kita, bisa saja suatu saat dia
berpikir bahwa dia tidak seberuntung kita, lalu berusaha untuk mendapatkan apa
yang selama ini kita miliki, dan itu adalah awal dari perasaan iri, apabila
usahanya untuk mensejajarkan diri dengan kita gagal, maka dia akan berusaha
untuk menjatuhkan kita, agar posisi kita berada dibawah dan sejajar dengannya.
Heran juga rasanya apabila ada
orang yang tetap mempertahankan pertemanan dengan orang yang karakternya
seperti itu, padahal bukan sesuatu yang susah apabila meninggalkan teman yang
bersifat benalu, lalu membuka diri untuk pertemanan lain.
Banyak orang yang mampu bertahan
dari ketidak adilan sebuah perlakuan, dengan dalih sabar, atau mungkin karena kebutuhan,
hingga sulit membedakan apakan kebertahanan itu karena sabar, butuh atau memang
bodoh.
Mulailah mencoba memberanikan
diri untuk meninggalkan sebuah tempat dimana ketidakadilan berada, segeralah
sadar bahwa masih banyak tangan-tangan tulus yang mau menerima kedatangan kita
di tempat yang baru, dan masih banyak figur-figur jujur yang mampu memberikan
keadilan terhadap kita dengan perlakuannya.
Lalu tunggu apa lagi, segeralah
tinggalkan dirinya.
0 komentar:
Posting Komentar