“Suatu saat nanti saya ingin bekerja di dalam bangunan itu”.
“Emangnya bangunan apa itu?” tanyaku
“Itu rumah sakit ranca badak”
jawabnya sambil nunjuk ke arah bangunan tua,bercat putih dengan gaya arsitektur
art deco.
“Oh… jadi itu yang namanya rumah
sakit ranca badak yang terkenal itu” terlepas sudah rasa kepenasaranku,
“emangnya kamu mau jadi apa gitu kalau udah gede”? tanyaku lagi.
“Jadi dokter” jawabnya singkat.
Kami berdua berlari melewati
rumah sakit besar milik pemerintah, terus dan terus langkah kecil kami berlari,
tujuan kami waktu itu ketempat penjualan layang-layang, disana dijual
layang-layang berbagai ukuran dengan kwalitas yang baik, harganyapun lebih
murah bila dibandingkan di tempat lain, karena si penjual langsung membuat
layang-layangnya sendiri.
Entah mengapa lamunanku selalu
teringat kembali, setiap kali melewati Jl. Dr. Jungjunan (Pasteur), tempat
dimana Rumah Sakit yang dulu bernama Ranca Badak berada, sekarang namanya sudah
berubah menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Ingatan akan sosok teman
semasa kecil dulu, aku memanggilnya Ifan, yang aku ingat dia orangnya gesit, ceria, dan tidak banyak basa basi, hidungnya
mancung, sorot matanya tajam, sosoknya bagai tokoh Parikesit dalam khazanah
pewayangan, Parikesit adalah raja dari kerajaan Kuru, dia itu anaknya Abimanyu
atau cucunya Arjuna dari Pandawa Lima.
Dari kecil Ifan
memang sudah bercita-cita ingin menjadi dokter, dan ingin sekali bekerja di
Rumah Sakit Hasan sadikin, rumah sakit yang dulu dia panggil Rumah Sakit Ranca
Badak, padahal kalaupun dia menjadi dokter, dia bisa bekerja di rumah sakit
lain, karena di Bandung banyak sekali rumah sakit besar.
“suatu saat pasti saya akan
berlabuh di rumah sakit itu… hahahaha…” Itu adalah kata-kata yang pernah Ifan
ucapkan semasa kecil dulu, sambil tertawa.
Tapi itu hanyalah sebuah cerita usang,
cerita tentang sebuah cita-cita dari masa lalu, sedangkan waktu terus berputar,
bergerak tanpa henti seperti langkah kami berdua saat kecil dulu, saat kami
berlari di depan sebuah rumah sakit milik pemerintah ketika hendak membeli layang-layang.
Tanpa terasa air mata menetes di
pipiku, entah mengapa pagi ini aku begitu melankolis. Lamunan yang dari tadi aku bentangkan kemasa lalu, seolah terputus seperti benang layang-layang kami dulu,
yang kalah terkena sabetan benang layang-layang lawan, lalu layang-layang itu
pergi menjauh dari pandangan kami berdua. Aku tertegun sejenak sambil memandang
Nisan berbentuk Salib bertuliskan nama sahabat dimasa kecil dulu.
Aku teringat kembali, saat-saat
napas terakhir sahabatku itu, di atas ranjang, berselimut putih, di dalam kamar
rumah sakit milik pemerintah. Ifan menarik napas panjang, satu tarikan, dua
tarikan…… ingin rasanya aku membimbing Ifan untuk berdo’a disaat-saat kritis,
tapi aku jadi bingun sendiri, karena kami berdua berbeda keyakinan,…. Tiga tarikan…..
empat tarikan….. aku melihat kesekeliling, Ibunya Ifan Nampak terisak,
sedangkan adiknya terus memegang tangan Ifan yang kejang-kejang karena menahan
sakit, lima tarikan…..,………,……..,…….., hingga tarikan napas kesembilan , Ifan
pergi untuk selamanya. Aku tersentak kaget ketika Ibunya Ifan pingsan,
sedangkan adiknya yang dari tadi memegang tangan Ifan menjerit histeris.
Ifan meninggal di usia 20 tahun, di
Rumah Sakit Hasan Sadikin, rumah sakit milik pemerintah yang dulu pernah dia
sebut Rumah Sakit Ranca Badak, kangker paru-paru telah membawanya “berlabuh” di
rumah sakit itu. Saat meninggal Ifan sedang kuliah difakultas kedokteran
semester 4.
Di tahun 1995, Semua menjadi
nyata, semua menjadi benar, dengan kangker paru-paru sebagai perahunya, Ifan “berlabuh”
di Rumah Sakit Hasan Sadikin.
0 komentar:
Posting Komentar