Liburan panjang saat lebaran atau
hari besar lainnya adalah sebuah moment yang penting bagi masyarakat pada
umumnya, tak terkecuali bagi masyarakat yang tinggal dipinggiran kota bahkan
jauh di pelosok desa, masyarakat yang kesehariannya hidup dengan sangat sederhana
bahkan serba kekurangan, mereka berbaur bersuka cita menjadi satu di beberapa
lokasi wisata yang sudah sangat terkenal.
Sangat mudah sekali bagi kita
untuk membedakan mana masyarakat kota dan mana masyarakat pelosok desa /
pinggiran kota yang sedang berlibur, kita bisa melihat dari tujuan wisata,
harga ticket masuk, dengan apa mereka mencapai tujuan dan apa saja
barang-barang yang dipakai atau dibawa saat berlibur, belajar menjadi pengamat sosial
bagi masyarakat pinggiran yang sedang berlibur sangat mengasyikan sekaligus
menggelikan, juga ada kisah-kisah tragis
dan sedih yang bisa kita simak tanpa sedikitku berniat untuk under estimate.
Suatu senja di Alun-lun Bandung,
tepatnya pada saat menjelang pergantian tahun menjadi pemandangan yang sangat
unik, diantara hiruk pikuknya masyarakat perkotaan yang hendak merayakan
pergantian tahun, diantara asap knalpot kendaraan yang pekat, berjubelnya mobil
dan motor, bisingnya suara terompet dan lalu lalangnya para pejalan kaki, perhatian
saya tertuju pada serombongan keluarga, terdiri dari ayah-ibu dan anak-anaknya,
saya juga melihat ada beberapa orang tua dalam rombongan itu, mungkin mereka
kakek-neneknya, mereka bergegas memasuki lapangan Alun-alun Bandung, menggelar
tikar yang terbuat dari anyaman rumput mendong, membuat lingkaran dan membuka sebuah
bungkusan besar, agak aneh rasanya melihat rombongan itu membuka nasi timbel dan
perbekalan lainnya lalu menyantap makanan dengan nikmatnya di tengah lapangan Alun-alun
Bandung, sungguh mereka tidak peduli dengan hiruk pikuknya suasana disekitar
mereka, yang penting asyiikkkk….
Lain cerita di Alun-alun Bandung
lain juga cerita di Taman Lalu Lintas Bandung, sebuah taman yang sengaja dibuat
untuk memperkenalkan sekaligus mengajarkan kelalulintasan kepada anak-anak
semenjak dini, yang dilengkapi miniature jalan, rambu-rambu lalu lintas, sepeda
dan beberapa kendaraan mini. Taman
Lalu Lintas yang berlokasi di Jalan Belitung No. 1 Bandung, dibangun /
didirikan oleh perkumpulan BKLL ( Badan Keamanan Lalu Lintas) Cabang Bandung
dari tanggal 21 Maret 1956 s/d awal tahun 1958 (±2 tahun). Taman Lalu Lintas
diresmikan dan dibuka untuk masyarakat umum pada tanggal 01 Maret 1958.
Kemudian, pada tahun 1965 Taman Lalu Lintas ini diberi nama Taman Lalu Lintas
Ade Irma Suryani Nasution, berdasarkan Surat Keputusan DPRD-GR Kotamadya
Bandung tanggal 20 November 1965 No. 18660/65.
Taman yang sebetulnya sarat dengan nuansa pendidikan
kelalulintasan dan permainan ini menjadi hilang fungsinya, saat serombongan keluarga
yang datang pastilah dari luar kota bandung, berkunjung datang kesana, membeli
ticket masuk, menggelar tikar lalu membuka bungkusan makanan, dan… nyaaammm…nyaaammm…
kejadianya sama persis seperti serombongan keluarga yang pernah saya lihat saat
senja hari di Alun-alun Bandung, mereka datang bukan untuk menyuruh
anak-anaknya bermain sambil belajar kelalulintasan tapi hanya untuk menggelar
tikar, membuka timbel dan makan bersama.
Dari
semua cerita seru hasil pengamatan saya mengenai Tamasya Kaum Pinggiran, yang
paling seru adalah masa liburan Lebaran, H+1 sampai liburan lebaran usai,
pangamatan saya tertuju pada ribuan orang yang datang dari berbagai pinggiran
kota, mereka semuah tumpah ruah di Kebun Binatang Bandung, Masyarakat Sunda
biasa menyebutnya DERENTEN, Kebun binatang yang didirikan pada tahun 1930
oleh Bandung Zoological Park (BZP), yang dipelopori oleh Direktur Bank Dennis, Hoogland. Pengesahan pendirian Kebun Binatang ini
diwenangi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pengesahannya dituangkan pada
keputusan 12 April 1933
No.32. Pada saat Jepang menguasai daerah ini, tempat wisata ini
kurang terkelola, hingga pada tahun 1948, dilakukan rehabilitasi
untuk mengembalikan fungsi tempat wisata ini. Pada tahun 1956
atas inisiatif dari R. Ema Bratakoesoema, Bandung Zoological Park dibubarkan,
dan pada tahun 1957 berganti menjadi Yayasan Marga Satwa Tamansari.
Para
rombongan yang jumlahnya ribuan itu mayoritas datang dari pinggiran kota Bandung bahkan dari pelosok desa, mereka datang dengan menyewa Angkutan Kota
(angkot), menggunakan mobil box terbuka, bahkan ada yang datang dengan menaiki
truck, bagi mereka panas dan debu selama perjalanan bukanlah masalah, yang
penting bisa sampai tujuan dengan selamat, dan masih pagi, bahkan ada diantara
rombongan itu yang sudah datang pukul 4:30 dini hari, mereka rela menunggu
dibukanya counter tempat penjualan ticket masuk agar dapat masuk lebih dulu di
bandingkan rombongan lainnya, padahal pintu masuk kebun binatang dibuka pada
pukul 8:30 pagi.
Berbeda
dengan masyarakat kota yang serba simple, masyarakat yang datang dari pinggiran
kota berlibur dengan sangat ribet, mereka membawa berbagai perlengkapan, setiap
individu rela menentang bawaannya saat memasuki kebun binatang, dari mulai
rantang berisi lauk pauk, kantong plastic berisi timbel nasi, termos untuk
menyimpan air panas, gelas + piring plastik, beberapa misting, beberapa lembar
tikar,….”oh my god”… banyak sekali, bahkan kue sisa lebaranpun mereka bawa
dengan stoplesnya.
Di
dalam kebun binatang sudah tersedia warung untuk sekedar beli makanan dan
minuman, tikar sewaan, bahkan food court dan restaurant siap sajipun ada
disana, lalu untuk apa mereka capek-capek membawa perbekalan sebanyak itu dari
rumah?
sepatu 7 cm (high heel) |
Saya
sampai melongo dan tidak bisa berkata apa-apa saat menyaksikan rombongan
masyarakat desa yang sedang berlibur di kota, dandanan mereka sungguh tak
lazim, banyak para perempuan dan ibu-ibu datang dengan mengenakan baju
tradisional kebaya lengkap dengan kainnya, ada yang pake rok mini ketat dengan make
up wajah yang sangat menor seperti penyanyi dangdut, ada yang ditelinganya pake
anting dengan diameter yang besar, dan diantara pengunjung ada juga seorang ibu
muda yang datang menuntun anak perempuannya yang berusia sekitar 6 tahun, gak
mau kalau mode si ibu dan anaknya yang masih berusia 6 tahun datang memakai
sepatu dengan hak setinggi 7 cm (high heel), padahal kontur Kebun Binatang
Bandung itu turun naik, bisa dibayangkan betapa tersiksanya mereka saat
berjalan kaki mutar-mutar melihat koleksi satwa dan tumbuh-tubuhan disana, lalu…
ouuupppsssttt… si anak jatuh, kakinya terkilir tepat di depan saya, itu semua gara-gara
memakai sepatu hak tinggi diantara berjejalnya para pengunjung kebun binatang.
Begitu
juga dengan para pemuda dan bapak-bapaknya, merekapun datang dengan pakaian
yang sangat tidak lazim, ada yang menggunakan celana jeans di bawah pinggang
(model ini pernah trend 12 tahun yang lalu), “sungguh mereka ketinggalan mode”,
ada yang memakai peci dan topi cowboy, ada yang membawa kamera Polaroid
(padahal sekarang zamannya digital), menggunakan rompi dari kulit seperti
penyanyi rock yang akan naik panggung, merokok cerutu dan berbagai tingkah
polahnya yang sangat aneh.
Mereka
para pungunjung kebun binatang yang datang dari pelosok desa benar-benar
menggelikan, mereka sungguh korban mode, mereka itu orang “kampung yang ingin
ngota”. Anehnya lagi mereka datang kesana dengan tujuan yang sama, menggelar
tikar, membuka perbekalan makan, dan makan bersama, mereka seolah tidak peduli
dengan sejarah dan fungsi dari tujuan wisata yang mereka kunjungi, bagi mereka
yang penting datang dengan rombongan dan makan bersama, padahal fungsi dari
kebun binatang yang sebenarnya adalah:
- Fungsi kebudayaan. Kebun Binatang Bandung sebagai tempat rekreasi yang didalamnya terdapat wahana pergelaran seni budaya, tentunya mempunyai fungsi kebudayaan, yaitu dapat menanamkan kesadaran dan rasa cinta tanah air melalui pengamatan dan pemahaman kekayaan budaya, serta pengamatan dan pemahaman kekayaan flora dan fauna.
- Fungsi pendidikan dan Iptek. Kebun Binatang Bandung merupakan sebuah wahana yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan edukatif untuk menambah pengetahuan dan untuk menghasilkan butir-butir pengetahuan baru yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan masyarakat. Kebun Binatang Bandung ini juga dapat dimanfaatkan sebagai obyek riset atau penelitian di berbagai keilmuan.
- Fungsi perlindungan dan pelestarian kekayaan alam. Kebun Binatang Bandung sebagai tempat dimana wahana flora dan fauna dikembangkan dan dilestarikan, berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan berbagai satwa flora dan fauna dengan tujuan menjaga kekayaan alam.
- Fungsi rekreasi. Kebun binatang bandung tentunya mempunyai fungsi sebaga tempat rekreasi bagi masyarakat.
Ternyata menjadi pengamat sosial “dadakan”
itu capek yah……
akan menjadi aneh memang orang kota melihat serombongan orang pinggiran menikmati momen2 seperti lebaran ginian...krn pengetahuan mereka tak seperti kita hingga ada yang menurut kita tak lazim, malah itu yg dianggap trend bagi mereka....tapi itulah keragaman perbedaan....
BalasHapusternyata "keragaman" itu mempunyai keunikan tersendiri yah, tetapi yang terpenting dari semua itu kita dan mereka bisa berbaur bersama menikmati liburan dengan gembira
Hapus