Kami berlima, Esha, Erni, Heri, Sino dan saya |
Cuaca dirasa kurang bersahabat saat mobil kami berangkat dari tengah
kota Bandung pagi itu 18 Maret 2017, hujan seolah ingin mengantar kepergian
kami berlima ke Kampung Cihuni, Desa Sukamulya, Kecamatan Tegal Waru, Kabupaten
Purwakarta yang eksotis dan sangat kental dengan budaya sundanya.
Masuk dari pintu tol Pasteur menuju pintu keluar tol Jatiluhur, jalan di
Kota Bandung sedikit lengang, mungkin karena kami pergi masih pagi sekitar
pukul 6:15 pagi, atau karena hujan yang
mengguyur kota membuat masyarakat enggan untuk beraktifitas di luar rumah, kami
berlima Sino, Heri, Erni, Esha dan saya tentunnya melaju dalam satu mobil ke
arah Purwakarta. Tidak jauh dari pintu keluar tol Jatiluhur kami mulai
dihadapkan dengan iring-iringan truck lengkap dengan container diatasnya yang
sengaja menghindari jembatan cisomang karena adanya pergesar tanah yang
menyebabkan jembatan retak dan mobil-mobil jenis besar pengangkut beban berat
dilarang melewatinya, hingga mobil-mobil tersebut menghalangi laju kendaraan
yang kami tumpangi, dari pintu keluar tol hingga memasuki Kampung Cihuni
kendaraan kami harus merayap pelan hingga menghabiskan waktu berjam-jam,
ditambah hujan deras yang mengguyur dari pagi menambah lengkap panjangnya
perjalanan yang harus kami lalui, tapi di dalam mobil kami masih enjoy dan
menikmati suasana Purwakarta, kota kecil yang jarang kami masuki meskipun jarak
dari Bandung tidak terlalu jauh.
Mulai memasuki Purwakarta, berkali-kali mobil yang kami tumpangi
berhenti untuk bertanya kepada penduduk setempat memastikan kebenaran arah
jalan yang kami lalui, kami tidak mau tersesat hingga hampir setiap tikungan
kami berhenti untuk menanyakan arah menuju Kampung Cihuni, kami tidak mau
tersesat karena kemacetan yang kami alami selama memasuki kota Purwakarta sudah
cukup membuat kedatangan kami agak terlambat.
Mulai memasuki Kampung Cihuni, kami merasakan jalan yang kami lalui
mulai menanjak, jalanan yang awalnya mulus mulai sedikit terasa bergelombang
karena aspalnya tergerus hujan yang datang lebih lama dari musim hujan
biasanya. Jalan nanjak dan berbelok-belok terus kami lalui, dan tetap saja
setiap tikungan kami mengulangi pertanyaan yang sama kepada penduduk setempat
yang kami temui, tujuan kami tetap sama, arah menuju Gunung Parang, sebuah
bukit batu andesit tertinggi di Indonesia.
Hingga sampailah kami di kaki Gunung Parang, mobil kami parkir dipinggir
jalan, berlima kami bergegas menuju tempat peristirahatan sementara, sebuah
saung yang tertata rapih menghadap megahnya Gunung Parang yang hendak kami
daki, tetapi kami tidak bisa langsung melakukan pendakian karena harus menunggu
beberapa saat hingga hujan reda. Kang Baban yang saat itu menunggu kedatangan
kami menyiapkan segalanya, mulai dari peralatan memanjat hingga memasangkan Hardness ke tubuh kami berlima.
Gunung Parang tidak terlalu jauh dari Saung tempat kami beristirahat, namun
ketinggian dan sudutnya yang vertikal hampir 900 membuat siapa saja
akan gentar untuk memulai pendakian, untungnya Kang Aldi yang saat itu
mendampingi kami untuk memanjat memberi sedikit pengarahan bagaimana caranya
menggunakan Kerntmantle Rope yang
diujungnya sudah dilengkapi Carabiner untuk
kami kaitkan pada kawat sling sebagai
pengaman apabila kami terjatuh saat pemanjatan.
Rock climbing-pun dimulai, setelah sebelumnya diawali dengan
pengarahan bagaimana caranya menggunakan berbagai peralatan untuk memanjat,
kami memulai dengan sangat hati-hati, Heri berada didepan, disusul saya, Erni,
Esha dan Sino, ternyata memanjat tebing via
ferrata tidaklah seseram yang kami bayangkan sebelumnya, memajat tebing
Gunung Parang benar-benar Joy climbing,
sedikitpun tidak ada rasa takut ataupun khawatir selama SOP untuk pendakian
kami jalani. Memanjat tebing Gunung Parang menjadi aman 100% apalagi
sebelumnya kami sudah menerima berbagai pengarahan dan cara menggunakan
peralatan sebagai pendukung pendakian sekaligus sebagai pengamanan keselamatan
kami apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ditengah-tengah perjalanan, kami berhenti sejenak, menikmati keindahan
Purwakarta dari ketinggian gunung, dengan jelas kami bisa melihat bukit-bukit
disekitar Waduk Jatiluhur yang luas dan megah, memanjat tebing Gunung parang,
kita bukan saja disuguhi pengalama yang tak akan pernah dilupakan tetapi
kitapun disuguhi keindahan pemandangan kota Purwakarta yang bisa kita nikmati
dari atas gunung, selain itu kitapun bisa melihat banyak sekali gerombolan Trachypithecus
auratus (Lutung Jawa) yang mendiami Gunung Parang.
Memanjat tebing Gunung Parang menjadi menyenangkan dan tidak terlalu
melelahkan karena selama perjalan kita akan sering berhenti untuk difoto, tebing Gunung Parang mempunyai banyak sekali spot yang bagus untuk pengambilan gambar bagi yang hobi photography. Untungnya lagi Kang Aldi
sebagai pemandu dengan sabar mau mengambil gambar dengan kamera yang sengaja
kami siapkan, dia pun mau menunjukan spot-spot
mana saja yang view-nya bagus untuk
difoto.
Memanjat tebing Gunung Parang haruslah aman dan nyaman, untuk itu selain
kita dibekali dengan berbagai peralatan untuk memanjat yang sudah Standard International, kitapun harus
membekali diri dengan peralatan yang sifatnya pribadi yang kita bawa
masing-masing, berikut ini adalah peralatan yang harus disiapkan oleh
masing-masing individu yang akan memanjat.
- Baju disarankan menggunakan Kaos lengah panjang
yang mampu menyerap keringat, atau bisa juga kita lapisi dengan Jacket atau
Sweater agar tubuh kita tidak terpapar langsung sinar matahari yang terik
menyengat.
- Kacamata / Sun Glass tentu saja sangat kita perlukan,
karena saat memanjat, matahari bersinar sangat terik dan menyebabkan mata
sedikit silau.
- Sarung tangan, kita butuhkan karena aktifitas
memanjat dinding banyak menggunakan tangan untuk memegang ferrata / tangga besi, agar tangan kita tidak kapalan atau lecet,
ada baiknya sarung tangan menjadi peralatan yang kita wajibkan untuk dibawa,
selain itu dapat melindungi panasnya terik matahari selama kita memanjat tebing.
- Sepatu khusus untuk menjat tebing, kalaupun
kita tidak punya sepatu khusus ada baiknya kita gununakan sepatu sport lengkap
dengan kaos kakinya, jangan pernah menggunakan sandal meskipun jenisnya sandal
gunung selama kita menjat dinding.
- Air mineral juga wajib kita bawa, masing-masing
minimal satu botol tapi lebih baik tiap individu membawa dua botol yang bisa
kita bawa menggunakan tas pinggang khusus atau tas biasa yang kita selendangkan
di pundak, air mineral dibutuhkan untuk menghindari dehidrasi selama kita
memanjat.
Selain peralatan pribadi yang saya sebutkan diatas, ada baiknya kita
juga melakukan persiapan fisik sebelum kita memanjat, karena selama proses
pemanjatan berlangsung, banyak sekali tenaga yang terkuras, selain itu kitapun akan
menghadapi berbagai rintangan seperti teriknya sinar matahari yang bisa
menyebabkan para pencinta Rock Climbing
mengalami dehidrasi. Rock climbing
bukanlah Hiking, dimana kita bisa
temukan sumber makanan ataupun sumber mata air selama dalam perjalanan, saat
melakukan Rock climbing kita tidak
akan pernah menemukan sumber makanan atapun sumber air yang bisa membatu
memulihkan energi yang keluar selama kita memanjat, disanalah butuhnya kesiapan
fisik dan mental yang prima.
Melakukan aktifitas Rock climbing
di Gunung Parang sangatlah menyenangkan meskipun banyak menguras tenaga, namun
aktifitas ini adalah aktifitas yang pastinya membuat kita merasa ketagihan dan
rindu ingin datang lagi, mendaki Gunung Parang via ferrata pastinya akan kami ingat dan kami rindukan untuk dapat
kami lakukan lagi di lain waktu, tentunya dengan ketinggian yang lebih dari
yang pernah kami lakukan sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar